Bangsa kita adalah bangsa yang besar! Kata – kata itulah yang selama beberapa tahun saya dengar dari ibu bapak guru sejak saya SD. Betapa bangganya saya ketika itu. Saya merasa menjadi bagian dari sebuah bangsa yang besar, yang membawa pengaruh besar pada dunia. Namun, pemikiran itu lambat laun terkikis habis dari setiap sel – sel neuron saya. Bagaimana tidak, setiap hari terpapar dengan sangat jelas bagaimana keterpurukan bangsa ini di hadapan mata saya. Korupsi, kolusi, nepotisme dimana-mana. Seakan- akan telah menjadi agenda rutin bagi bangsa ini. Dan hal yang paling membuat saya miris adalah ketika saya melihat di sekeliling bagaimana kebobrokan perilaku pelajar-pelajar, tunas muda, penerus perjuangan bangsa ini. Mereka menjual harga diri bangsa hanya demi selembar ijazah baru di akhir tahun ajaran nanti.
Sungguh lucu negeri ini, semua hal yang ada di atas ranah Ibu Petiwi dinilai berdasarkan selembar ijazah. Semakin bagus isi ijazahmu dan semakin tinggi tingkatannya maka semakin sejahtera hidupmu nantinya. Dari selembar ijazah hidupmu di tentukan. pada selembar ijazahlah kerjamu, kehidupan sosialmu bahkan posisimu di dalam masyarakat digantungkan. Semuanya bertitik tumpu pada selembar ijazah. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi orientasi pelajar-pelajar Indonesia. Tak ada lagi jiwa-jiwa yang semangat menimba ilmu, tak ada lagi wajah-wajah yang haus akan pengetahuan. Hampir semua pelajar Indonesia mati. Mati karena sistem pendidikan yang berjalan. Sistem yang mengedepankan nilai akademis sehingga membuat siswa tidak bisa menikmati dunia pengetahuan.
Pemerintah Indonesia mencoba meningkatkan kualitas pendidikan bangsa ini dengan berbagai cara. Namun, sangat disayangkan sekali karena pada akhirnya cara-cara ini menjadi bumerang yang semakin menghancurkan moral pendidikan bangsa. Sebagai contoh dengan diadakannya ujian nasional, sistem mendidik siswa menjadi koruptor-koruptor kecil. Beribu-ribu kunci jawaban ujian beredar melalui jaringan telepon, kertas-kertas contekan berterbangan. Hal ini secara tidak langsung memberi pelejaran pada generasi muda bagaimana cara menjadi seorang koruptor yang handal. Kemudian, saat mereka berhasil bermetamorfosis menjadi tikus-tikus negara pemerintah menghabiskan dana besar-besaran untuk menghabisi mereka. Negeri ini, negeri kita, mendidik rakyatnya menjadi koruptor yang kelak akan ia musuhi mati-matian.
Demi selembar ijazah ini, harga diri bangsa kita sebagai bangsa yang beradab dijual. Pada penyelenggaraan ujian naisonal yang diadakan pada tahun 2010 kemarin pemerintah menemukan 900 kecurangan. Hal ini terjadi karena sistem mengharuskan siswa memiliki nilai bagus tanpa memperhatikan penguasaan ilmu itu sendiri, standar kompetisi yang tinggi dan berorientasikan pada nilai serta kurang maksimalnya pengajaran di dalam kelas turut mengembil peran atas peristiwa ini. Belum lagi iming-iming beasiswa dari pemerintah yang akan diberikan pada siswa yang memiliki nilai paling tinggi. Bukankah sangat ironis? Nilai-nilai siswa yang diperoleh entah dengan cara apa, mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Ijazah, tak hanya menjadi raja bagi para pelajar yang merupakan titik ukur kebehasilan dalam menempuh masa sekolah selama beberapa tahun. Namun ia juga merupakan dewa bagi para pemimpin bangsa. Sungguh memilukan ketika mendengar terdapat beberapa calon pemimpin bangsa yang menggunakan ijazah palsu sebagai bukti pendidikan mereka. Tak dapat dibayangkan jika seandainya terdapat manusia seperti ini yang memegang kemudi pemerintahan. Wajar jika korupsi sulit di brantas.
Entah bagaimana negeri ini kedepannya jika paradigma ini terus mengendap dalam rakyat Indonesia. Harga diri kita tentu akan dibantai habis-habisan. Lagi, hanya demi selembar ijazah. Apakah ini yang benar-benar kita inginkan? Bangsa yang harga dirinya selembar ijazah? Sementara pada kenyataanya, nilai akademis bukan merupakan penentu kecakapan seseorang. Saatnya mengubah orientasi pelajar dan pemerintah untuk tidak hanya menetapkan nilai sebagai standar kemampuan seseorang. Karena jika bukan kita yang mengubahnya, siapa lagi? Bukankah sudah saatnya membuktikan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang besar?
Sumber : http://archiaichi.wordpress.com/2010/12/05/harga-diri-kami-berupa-selembar-ijazah/
Sungguh lucu negeri ini, semua hal yang ada di atas ranah Ibu Petiwi dinilai berdasarkan selembar ijazah. Semakin bagus isi ijazahmu dan semakin tinggi tingkatannya maka semakin sejahtera hidupmu nantinya. Dari selembar ijazah hidupmu di tentukan. pada selembar ijazahlah kerjamu, kehidupan sosialmu bahkan posisimu di dalam masyarakat digantungkan. Semuanya bertitik tumpu pada selembar ijazah. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi orientasi pelajar-pelajar Indonesia. Tak ada lagi jiwa-jiwa yang semangat menimba ilmu, tak ada lagi wajah-wajah yang haus akan pengetahuan. Hampir semua pelajar Indonesia mati. Mati karena sistem pendidikan yang berjalan. Sistem yang mengedepankan nilai akademis sehingga membuat siswa tidak bisa menikmati dunia pengetahuan.
Pemerintah Indonesia mencoba meningkatkan kualitas pendidikan bangsa ini dengan berbagai cara. Namun, sangat disayangkan sekali karena pada akhirnya cara-cara ini menjadi bumerang yang semakin menghancurkan moral pendidikan bangsa. Sebagai contoh dengan diadakannya ujian nasional, sistem mendidik siswa menjadi koruptor-koruptor kecil. Beribu-ribu kunci jawaban ujian beredar melalui jaringan telepon, kertas-kertas contekan berterbangan. Hal ini secara tidak langsung memberi pelejaran pada generasi muda bagaimana cara menjadi seorang koruptor yang handal. Kemudian, saat mereka berhasil bermetamorfosis menjadi tikus-tikus negara pemerintah menghabiskan dana besar-besaran untuk menghabisi mereka. Negeri ini, negeri kita, mendidik rakyatnya menjadi koruptor yang kelak akan ia musuhi mati-matian.
Demi selembar ijazah ini, harga diri bangsa kita sebagai bangsa yang beradab dijual. Pada penyelenggaraan ujian naisonal yang diadakan pada tahun 2010 kemarin pemerintah menemukan 900 kecurangan. Hal ini terjadi karena sistem mengharuskan siswa memiliki nilai bagus tanpa memperhatikan penguasaan ilmu itu sendiri, standar kompetisi yang tinggi dan berorientasikan pada nilai serta kurang maksimalnya pengajaran di dalam kelas turut mengembil peran atas peristiwa ini. Belum lagi iming-iming beasiswa dari pemerintah yang akan diberikan pada siswa yang memiliki nilai paling tinggi. Bukankah sangat ironis? Nilai-nilai siswa yang diperoleh entah dengan cara apa, mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Ijazah, tak hanya menjadi raja bagi para pelajar yang merupakan titik ukur kebehasilan dalam menempuh masa sekolah selama beberapa tahun. Namun ia juga merupakan dewa bagi para pemimpin bangsa. Sungguh memilukan ketika mendengar terdapat beberapa calon pemimpin bangsa yang menggunakan ijazah palsu sebagai bukti pendidikan mereka. Tak dapat dibayangkan jika seandainya terdapat manusia seperti ini yang memegang kemudi pemerintahan. Wajar jika korupsi sulit di brantas.
Entah bagaimana negeri ini kedepannya jika paradigma ini terus mengendap dalam rakyat Indonesia. Harga diri kita tentu akan dibantai habis-habisan. Lagi, hanya demi selembar ijazah. Apakah ini yang benar-benar kita inginkan? Bangsa yang harga dirinya selembar ijazah? Sementara pada kenyataanya, nilai akademis bukan merupakan penentu kecakapan seseorang. Saatnya mengubah orientasi pelajar dan pemerintah untuk tidak hanya menetapkan nilai sebagai standar kemampuan seseorang. Karena jika bukan kita yang mengubahnya, siapa lagi? Bukankah sudah saatnya membuktikan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang besar?
Sumber : http://archiaichi.wordpress.com/2010/12/05/harga-diri-kami-berupa-selembar-ijazah/
Categories:
All About Story,
hitam putih kehidupan
tulisan yang bagus, apalagi kalau ditambah solusi dan langkah konkret seperti apa yang harus kita lakukan. :)