Hujan yang deras itu enggan menghentikan rintiknya yang dingin. Gelegar guntur bersahutan di tengah irama yang diciptakan sang hujan. Tersudut aku di tepi kamar. Hijaunya kamar yang sejuk, ternyata tidak dapat menyejukkan hatiku yang kalut. Segala suara itu terdengar. Bagaikan dentuman bom yang menakutan. Segala makian terlontar bersahutan. Sungguh memilukan. Aku kelu mendengar segala caci maki itu. Hendak aku berlari ke luar, dan berteriak untuk menghentikannya. Tapi aku tak kuasa. Aku hanya menangis dalam hati dan meringkuk di sudut kamar yang sempit.
"Kalau kamu tidak bisa mengurus anak, lebih baik kamu keluar dari rumah ini! Sejak dulu kamu memang tidak perhatian sama keluarga. Kamu juga tidak peduli sama aku dan anak-anak," teriak yang wanita.
"Aku pergi-pergi itu karena aku mencari uang," jawab yang pria membela.
"Uang darimana? Tiap hari aku yang memberi anak-anak uang, makan, dan semuanya," bantah yang wanita.
Cacian, saling menyalahkan, membela terus berlanjut, dan aku hanya bisa menutup telinga dan menangis dalam hati. Rena, adik perempuanku, hanya mencibir seraya mendengarkan lagu dari komputer dengan suara yang dahsyat.
Kenapa semuanya jadi seperti ini?pikirku. Aku kembali teringat kata-kata yang sangat tidak aku harapkan.
"Shelen, kalau seandainya Mama harus pisah sama Ayah kamu, kamu tidak apa-apa?" suara halus itu sungguh tepat menembak sasaran di titik yang paling kritis. Tidak bisa aku bayangkan, segala pikiranku beberapa hari yang lalu benar-benar tepat. Saat itu, aku hanya terdiam. Terdiam bukan karena berpikir, tapi mencoba menenangkan hati dan berusaha terlihat kuat. Aku tidak ingin, wajah yang ada di depan mataku ini menangis karena harus melihat aku yang bersedih. Aku terlalu sayang padanya.
Dengan sekuat tenaga, aku tarik napas yang panjang, dan ku hembuskan perlahan. Kemudian aku menjawab dengan senyuman, "tidak apa-apa". Tapi wajah itu, wajah yang amat aku sayangi, menatap aku pertanda kesedihan. Aku tidak bisa membohongi dirinya. Dia tahu aku sedih, dan mencoba tegar.
Pandanganku menyapu kamar sekilas. Sepintas aku menggerutu, “Inikah hadiah yang aku terima? Hadiah setelah aku berhasil meraih juara satu dan hadiah ulang tahunku”. Aku tersenyum ironi. “Sungguh kasian diriku ini. Mendapatkan hadiah yang benar-benar berbeda dan tidak dijual dimana pun.”
Kemudian mataku tertuju pada sebuah kertas lusuh tak berbentuk tergeletak di bawah meja belajar. Ku ambil kertas itu, dan ku bawa ke atas meja. Ku raih sebuah bolpoin. Dan ku goreskan tinta hitamnya di atas kertas lusuh itu.
Jika ego telah berkata
Tiada mata yang melihat
Dan tiada telinga yang mendengar
Untuk beberapa saat aku terhenti. Aku marah. Tapi, suara yang tak sengaja aku dengar di kala malam dan wajah sedih yang baru saja aku lihat itu seakan menggema di telinga dan membayang di dalam tempurung kepalaku. Kemudian ku lanjutkan bait yang terputus itu.
Tapi aku
Yang masih bisa melihat
Yang sanggup mendengar
Tidak ingin melihat sedihnya yang tersembunyi
Dan tidak ingin mendengar tangisnya di kala malam
Shelen sayang Mama.
Setelah aku puas menuangkan segala pikiranku. Ku pandangi dengan tatapan kosong kertas lusuh itu. Setitik air mata terasa hangat di ujung bibirku. Ku lipat dengan asal kertas lusuh itu, dan ku buang ke tempat sampah.
***
Cahaya matahari rupanya sedang berpihak padaku. Hari ini akan menjadi hari yang indah. Aku punya firasat baik untuk hari ini dan aku nampak semangat. Hari ini akan ada pembagian rapor. Agak gugup, tapi aku senang karenanya. Semakin aku penasaran, semakin aku akan bersyukur jika firasatku benar.
"Kira-kira, nilai raporku bagaimana ya?" tanyaku untuk yang ke sekian kali pada Sasha, teman sebangkuku.
Sepertinya Sasha sedikit bosan dengan pertanyaanku yang terus aku tanyakan, walaupun jawaban yang akan diberikannya akan selalu sama. Sasha menghela napas. Kemudian dia berkata, "ya ampun, Shelen. Ini pertanyaan kamu yang ke dua puluh lima. Aku sudah bosan. Sekali lagi kamu tanyakan pertanyaan itu, aku tidak akan menjawabnya!".
"Tadi sudah aku katakan, kalau nilai rapormu pasti bagus. Kamu hampir tidak pernah ikut remedial, dan pasti nilai-nilai kamu lebih tinggi dibandingkan aku," lanjut Sasha.
"Tapi, nilai olahragaku? Aku pernah tidak hadir saat ujian renang," tanyaku khawatir.
"Itu sudah aku katakan juga bukan? Kamu tidak perlu khawatir yang berlebihan! Pak Heru, bukan orang yang pelit nilai. Jadi, dia tidak mungkin memberi kamu nilai di bawah tujuh hanya karena kamu tidak mengikuti pelajarannya sekali. Sedangkan, waktu itu kamu tidak hadir bukan karena kamu malas bukan? Hanya saja, kamu izin tidak mengikuti pelajaran itu karena ada kepentingan lain," jawab Sasha, aku cukup terhibur dengan kata-katanya.
"Doakan saja ya," kataku. Sasha tersenyum. Senyuman itu bukan senyuman yang tidak memiliki arti. Aku langsung mengerti apa maksudnya. "Iya, nanti aku traktir. Tapi kalau aku mendapatkan peringkat tiga besar ya," kataku seakan menjawab pertanyaannya.
Cahaya matahari yang benar-benar menghangatkan setelah diguyur hujan beberapa hari yang lalu, menampakkan sinarnya yang semakin menyilaukan. Pertanda hari semakin siang. Di depan kelas, aku serta beberapa temanku menunggu. Sesekali orang tua dari mereka keluar membawa buku bersampul abu-abu itu. Ada yang dengan wajah bahagia, adapula dengan wajah kecewa.
Aku menunggu dengan sedikit gelisah. Sudah beberapa jam berlalu, tapi mamaku belum datang juga. Beberapa kali aku berusaha untuk menghubungi ponselnya, tapi tidak ada jawaban darinya. Hingga aku berniat untuk menunggunya di depan sekolah.
Tapi baru beberapa langkah, wajah yang aku tunggu itu datang.
"Maaf, Shelen. Mama telat. Tadi Mama ke sekolah Rena dulu untuk mengambil rapornya," kata mama.
"Lalu, hasil rapor Rena bagaimana?" tanyaku.
"Peringkatnya turun. Dia di peringkat delapan," jawab mama agak kecewa. Kemudian dia beranjak masuk ke dalam kelas.
Jujur, aku semakin tegang. Khawatir, takut, penasaran, bercampur menjadi satu. Keringat dingin pun tidak dapat aku tahan. Sesekali aku melihat ke dalam kelas. Dan sesekali pula aku menggerutu, "Lama sekali. Kapan namaku dipanggil?"
Dan akhirnya, namaku pun disebutkan oleh wali kelas. "Shelen Nugraha Jinjaseta," panggil wali kelasku. Mama, yang mewakiliku pun maju ke depan. Setelah beberapa jam menahan rasa yang teramat penasaran itu, akhirnya mama ke luar dari kelas membawa sebuah buku bersampul abu-abu dengan namaku di bagian sampulnya.
"Bagaimana, Ma ?" tanyaku tanpa basa-basi. Mamaku tidak menjawab apa pun. Hanya seulas senyuman yang dia berikan. Aku lega. Aku tidak mengecewakannya. Meski aku tidak tahu hasil pastinya, tapi setidaknya aku bisa merasa bahagia dengan senyumannya itu.
Dan tiba-tiba, ada seorang dari temanku berkata, "Shelen, selamat ya. Kamu mendapatkan peringkat satu."
Setengah tidak percaya aku mendengarnya.
***
Libur yang dinantikan itu pun datang bertepatan dengan hari ulang tahunku. Pukul sepuluh yang biasanya hujan, hari ini menampakkan cahayanya yang menyilaukan. Cahayanya yang masuk melewati jendela kamarku itu, menusuk mata tepat saat aku membuka mata. Saat aku membuka mata, datang sebuah kecupan yang hangat. Kecupan yang sangat membuat hati ini terharu.
"Selamat ulang tahun ya, Sayang, " ucap Mamaku disusul dengan adikku.
"Selamat ulang tahun ya, Mbak," ucap Rena.
Meski tidak ada kue ulang tahun, kado atau apapun, tapi aku bahagia. Karena orang yang aku cintai masih mengingat ulang tahunku. Tapi sejenak bahagia itu terhenti. Entah dimana ayahku. Sejak aku kecil, aku tidak pernah menerima ucapan selamat ulang tahun darinya. Terkadang, hal yang membuat hatiku miris, saat dia lupa nama lengkapku.
Tak lama kemudian, ponselku pun berdering. Ada telepon. Segera aku angkat telepon itu disertai pandangan penasaran dari mama dan Rena.
"Happy Birthday ya, Sayang!!!!" ucap seorang di ujung telepon tepat saat aku menekan tombol Answer.
Belum sempat aku mengatakan apa-apa, terdengar sebuah lagu sederhana. Lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ dengan aransemen yang berbeda dan dinyanyikan oleh suara serak itu. Lagu itu terdengar indah. Tapi seketika aku tertunduk lemas mendengarnya. Aku terdiam dalam alam pikirku. Tapi lagu itu terus berputar. Si penyanyi pun tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan. Dia masih saja memainkan gitar klasiknya. Hingga saat lagu itu berhenti…..
"Hei… Kamu kenapa? Kamu melamun ya?" tanya Teguh, si penelepon yang tidak lain adalah pacarku.
"Ehmm… Maaf…" sentakku. Untung saja, mama dan Rena sudah beranjak dari kamarku. Karena jika tidak, aku tidak tahu harus menjelaskan apa pada mereka kalau melihat aku menangis seperti ini.
"Kamu kenapa? Kamu menangis?" tanya Teguh.
"Tidak. Aku tidak menangis," jawabku sesenggukkan. Tentu Teguh tidak percaya. Karena suaraku yang berubah serak. Dia seakan tahu kalau aku sedang menangis.
Dia terdiam untuk beberapa lama. Aku tahu apa yang dia inginkan. Sifat Teguh yang seperti ini, pasti karena dia ingin aku menjelaskan apa yang terjadi. Aku sudah mengenal Teguh lebih dari setengah umurku, jadi aku sudah tahu benar tentang sifat-sifat dia yang seperti ini.
Kemudian aku menarik napas panjang. Sekuat tenaga aku berusaha meyakinkan dia. Sekali lagi aku berkata, "aku baik-baik saja. Aku tidak menangis". Aku berusaha menahan suaraku yang serak dan sesenggukkan itu supaya tidak terlihat seperti orang yang menangis.
"Oh, baiklah. Aku mengerti. Mungkin nanti kamu akan cerita," katanya. Rupanya dia tidak ingin memaksaku. Sekali lagi, dia seakan tahu apa yang aku pikirkan.
Untuk beberapa menit, pembicaraan itu berlangsung. Sampai pada pukul sebelas siang, pembicaraan melalui telepon itu terhenti. Beberapa menit, aku masih menempelkan ponselku di telinga kananku. Memastikan tidak ada lagi suara di sana selain nada ‘tut…tut…tut’
Air mata yang sudah aku tahan, akhirnya turun kembali seperti merindukan bumi. Sungguh. Aku bingung dengan tangisan ini. Aku sedih, tapi aku marah.
Ku pandangi sekitar. Dan ku raih sebuah notebook kepunyaan Rena. Ku pikir, tidak masalah jika aku ambil selembar kertasnya. Aku ambil sebuah spidol yang berada dekat denganku, dan ku torehkan tinta merahnya di atas selembar kertas itu.
Terlupakan dengan orang terkasih adalah hal yang paling menusuk hati. Yang terjauh, masih sedia mengingat. Tapi yang terdekat, sudah enggan mengingat. “Jahat.” Ingin aku berteriak itu di depan wajahnya yang renta. Mengingatkan padanya, aku masih ada. Aku masih putrinya. Dan ingatkan padanya, kalau aku marah.
Segala emosi yang ada, telah tertuangkan. Aku merasa sedikit lega. Ku tarik napas kuat-kuat, dan ku hembuskan perlahan. Pandanganku tertuju pada kertas itu. Aku lipat kertas itu sekecil mungkin, dan aku buang ke tempat sampah.
***
Jujur. Aku heran. Tidak ada satu pun reaksi yang ditunjukkan Rena. Dia hanya diam dan bercanda seperti biasa. Tapi tawanya yang lepas itu, mengisyaratkan kesedihan, dan itu terbaca oleh mama.
***
Pukul sebelas malam sudah ditunjukkan oleh jam di dinding. Mataku masih tidak ingin terpejam. Setiap ku pejamkan, suara itu terdengar.
“Seandainya nanti Mama bercerai dengan Ayah, kamu tidak apa-apa?”
Aku tersiksa. Rasa kantuk dan kata hati berjalan berlawanan. Dan aku putuskan, untuk meminum segelas air agar aku merasa sedikit lebih tenang. Aku berjalan keluar kamar. Sepi. Pantas saja, semuanya sudah tidur sedangkan Ayah belum pulang.
Aku menengok sekilas ke dalam kamar Rena yang terbuka pintunya. Wajah yang memelas itu tampak tenang. Seperti tidak ada beban yang dia bawa dalam tidurnya. Kemudian aku kembali berjalan ke dapur. Ku ambil sebuah gelas, dan ku tuangkan air dari sebuah botol. Hanya kucuran air dan dentingan jam yang bisa terdengar olehku.
Setelah selesai, aku kembali ke kamar. Aku sudah merasa lebih tenang. Saat aku buka pintu kamarku, aku mendengar suara tangisan. Aku berjalan mengikuti arah suara yang ternyata membawaku ke kamar mama. Untuk beberapa detik aku berusaha mendengar lebih baik. Dan tentu bisa ku kenali suara itu. Ku buka sedikit pintu kamar mama. Dan bisa ku lihat di dalamnya, seorang wanita yang tengah terduduk di dalam shalatnya. Tangannya menengadah ke atas. Di kedua matanya, bersinar butiran-butiran air mata. Hatiku kenes melihat suasana itu. Tidak sanggup aku melihatnya menangis. Ini sudah bukan kali pertama aku melihatnya menangis di tengah malam seperti ini.
Dengan langkah perlahan, aku kembali ke kamarku. Di dalam, aku hanya terdiam, dan akhirnya menangis tanpa suara. Di atas sebuah kertas, kembali ku tuangkan beberapa kalimat.
Bukan hal pertama aku melihatnya menangis. Hatiku miris. Aku sedih dengan kata pisah itu. Tapi aku tidak sanggup jika harus melihatnya menangis di kala buah hatinya tertidur. Pria tidak berhati bukanlah orang biasa. Dia adalah ayahku. Tapi dia sudah membuat orang yang paling aku sayang menangis.
Dan seperti biasa, kertas itu lalu ku buang. Dan aku langsung tertidur pulas.
***
Di sebuah siang yang panas, aku kembali merenung. Sudah sebulan berlalu semenjak aku dan Rena tahu akan hal itu. Segalanya berubah. Tak ada lagi ayah yang selalu menemani aku menonton televisi hingga larut malam. Tak ada lagi jalan keluarga yang biasa dilakukan di hari Minggu. Ayah pun tidak lagi sering di rumah. Bahkan, hanya untuk makan pun, dia lakukan di luar. Semua seakan bisu. Menjaga gengsinya.
Aku rasa, jalan itu memang sudah harus ditempuh. Dan benar saja. Tepat di minggu kedua di tengah bulan kasih sayang, talak itu telah dijatuhkan. Sidang telah dilaksanakan. Dan segalanya telah berakhir.
Sedih tidak bisa aku bendung dalam hati ketika palu itu diketukkan tiga kali. Air mata perlahan menitikkan kehangatannya. Tapi aku bisa menahannya setelah melihat wajah mama yang terlihat lebih lega.
***
Malam begitu indah seakan menghiburku. Awan seakan mengalah untuk pergi. Bulan yang menjadi namaku, seakan menjadi teman. Cahayanya yang indah terpancar dengan bebas. Untuk menghilangkan penat, aku sengaja keluar rumah. Duduk di teras, sendirian, seraya menikmati semilir angin darat yang berhembus dan indahnya terang bulan, rupanya sedikit membantuku. Perlahan, segala pikiran dan kesedihan itu terbuang. Suara jangkrik yang indah juga menambah syahdunya suasana malam.
Esok akan menjadi hal yang baru bagiku. Tak ada lagi kebersamaan yang dulu. Semua akan baru. Aku harus membiasakan segalanya dari awal. Tidak ada lagi, Ayah yang akan rela dirinya dihina hanya untuk mengantarkan aku ke sekolah
Mungkin nanti aku akan rindu pada Ayah. Terkadang dalam bayangku, aku melihat wajah Ayah yang sendiri tanpa aku, Rena, dan Mama. Wajah yang mulai renta dimakan usia itu akan hidup sendiri, tanpa ada yang mengasihani, tanpa ada yang menjadi sandarannya. Dan tanpa orang yang dia kasihi. Sempat terbayang, jika nanti aku tidak bisa melihat wajahnya lagi. Hingga kini, tidak ada yang aku lakukan dapat membahagiakannya.
Hatiku miris jika bulan ingin tahu. Aku berduka melihat jalan hidupku ini. Tapi, aku akan tetap bahagia, selama aku masih bisa melihat Mama yang tersenyum. Aku tidak bisa lagi mendengarnya menangis. Dan sekarang, aku bisa melihat bahagianya. Wajahnya berseri seraya bercakap dengan orang yang ada di sana. Yang mungkin bisa membuat tangisan itu tidak lagi aku dengar untuk selamanya.
I LOVE MAMA…
Segala emosiku telah tertuang di dalam beberapa paragraf pendek di atas kertas kucel yang tidak sengaja aku pungut dari meja taman. Dan tidak seperti biasanya. Kertas itu aku lipat dengan rapi membentuk sebuah pesawat kecil. Kemudian ku terbangkan pesawat itu. Biarkan angin yang membawanya pergi bersama segala penat dalam dadaku.
Ku pandangi arah pergi kertas itu. Dengan ringan kertas itu mengudara seperti hati ini yang sedikit lebih lega. Tiba-tiba aku tersenyum. Aku teringat dengan beberapa pertanyaan Sasha beberapa bulan yang lalu.
"Ya ampun, Shelen. Diary yang aku kasih ini, kenapa masih kosong? Kamu tidak menggunakannya? Bukankah kamu senang menulis?" tanya Sasha saat berkunjung ke rumahku dan mendapati diary, kado darinya, yang bersandar di antara jajaran buku.
"Diary itu tidak sepenuhnya kosong kok. Kamu tidak melihat? Di bagian awalnya itu," jawabku.
"Mana? Di sini hanya tertulis namamu saja. Tidak ada satu pun curhatan darimu. Aku kira, kamu senang menulis pengalamanmu dan segala pikiranmu. Karena selama aku duduk denganmu, aku sering melihatmu menulis segala yang kamu pikirkan," kata Sasha.
"Ya, aku memang senang menulis. Dan aku memang senang menuliskan segala pengalaman dan pikiranku," jawabku. Seketika Sasha memandangku dan di wajahnya seperti terbentuk sebuah tanda tanya besar. "Aku tidak menuliskan semuanya dalam diary. Aku tidak suka menulis diary," kataku seakan menjawab tanda tanya itu, membuat tanda tanya baru di wajah Sasha.
"Lalu, kamu menulisnya di mana?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya menyodorkan selembar kertas kucel dari tempat sampah di kamarku. Untuk beberapa saat, alis tebal Sasha terangkat tidak percaya. Kemudian dia berkata, "kau aneh". Tapi aku hanya tersenyum geli mendengarnya.
"Kenapa kamu lebih senang menulis di kertas lusuh seperti ini daripada diary ?" tanyanya yang lain itu terdengar. Namun, aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum.
Karena hanya dalam kertas itu, segala pikiranku itu menjadi benar-benar rahasia. Tidak ada yang peduli ataupun penasaran dengan kertas lusuh yang terbuang di tempat sampah. Semua akan mengira itu hanyalah sampah, tanpa mengetahui isinya. Dan hanya dalam kertas itulah, masa lalu akan benar-benar menjadi masa lalu. Karena jika terbuang, tidak akan pernah bisa aku mengembalikannya.
Sumber : http://dinnaduapuluhenam.blogspot.com/2010/12/cerpen-tinta-dan-kertas-part-1.html
Categories:
All About Story
Posting Komentar