, , ,

“Selamat sore!” kata Kepala Polisi. “Betul ini tempat tinggalnya saudara Tono yang sekarang?”

Tono yang masih memegang gagang pintu kaget bukan kepalang. Tiga polisi bertubuh tambun ada di hadapannya. Apalagi sepertinya pangkat mereka sudah lumayan tinggi. Dia bingung dan berpikir kacau. Apalagi yang akan terjadi. Dua hari lalu kiosnya hilang. Sekarang ada polisi di sini. Pikiran-pikiran buruk tentang polisi yang ada selama ini ada di benak Tono bermunculan. Kali ini malah lebih gila. Ia menjadi gugup.

“Eh… i… anu… ehm…”

“Tenang saja Mas. Kami hanya mampir. Anda yang bernama Tono seperti di surat ini?” sambil menunjukkan bagian belakang surat yang lecek, si atasnya tertulis nama dan alamatnya. “Boleh kami masuk?”

“Oh… eee… mampir… uh… eh… iya. Ma… mari… silakan!”

Kali ini semakin rumit apa yang ada dalam otaknya. Persis seperti kata orang; manusia adalah jiwa-jiwa yang katakutan. Kali ini kalimat itu benar-benar mengena dalam diri Tono. Apa yang salah dengan dirinya. Apakah karena ia mengirim surat pada Tuhan? Kenapa suratnya jadi nyasar ke polisi? Apa yang akan terjadi nanti?

“Kelihatannya anda masih muda.” Kata Kepala Polisi. “Jadi begini dik Tono. Kami kesini ini bermaksud memberikan titipan dari Tuhan!”

Kelihatannya dari seluruh waktu hidup Tono. Detik ini yang membuatnya paling kaget. Kaget yang tak terkatakan. Untung saja jantungnya masih kuat. Hanya karena jantungnya berdegup terlalu kencang yang membuatnya menjadi pingsan!

Dua perwira Polisi yang sedari tadi mengamati ruangan sempit itu kaget juga melihat Tono jatuh pingsan. Istrinya segera menghambur ke arah tubuh Tono yang sudah terjerembab di kolong meja. Polisi saling berpandangan. Sementara Joko, dengan wajah tanpa dosanya yang masih tak tahu apa-apa, memandangi polisi yang saling berpandangan itu.

“Ooalaah Pakne… pakne… kok malah semaput. Ini tadi diapain tho?” teriak istrinya.

“Maaf! Apa ada yang salah dengan kata-kata saya?” kata Kepala Polisi.

***

Pandangan Tono masih kabur. Ia mencoba tersenyum walupaun sepertinya ia masih belum sadar betul.

“Heh… maaf!”

“Tak apa dik. Ini dik Tono surat yang anda kirim. Dan ini uang yang anda minta. Kami hanya melakukan tugas.”

“Ehmm… iya… terimakasih.” Kata Tono yang masih dalam kebingungannya dan menerima amplop yang terdengar bunyi gemerincing uang dan agak berat itu.

“O iya dik Tono. Nama dik Tono ini “Tono Rintono MS” kenapa ada banyak kata “Tono” di situ?”

Mendadak Tono mejadi sehat kebali dengan pertanyaan itu.

“Oh… bukan… bukan saya pak. Orang tua saya yang memeberikannya pada saya. Bapak saya Jogja, ibu dari Jawa Barat.”

“Ooo begitu.” Kepala Polisi megangguk-angguk, mengerti kenapa namanya berulang. “Lalu MS-nya apa?”

“Martono Sartono Pak!”

“Pa’e. ini surat yang tadi pagi saya masukkan kotak di depan sana!” Teriak Joko sambil menunjuk surat di atas meja. Ia kenal betul dengan surat itu, walaupun sudah sobek di salah satu sisinya.

“Cuma, kotaknya tak mau terbang!”

“Terbang?” sahut semua yang di ruangan itu.

“Iya. Terbang ke tempat Tuhan. Tapi kenapa bisa dibawa bapak-bapak yang memakai topi pak? Apakah mereka Tuhan?”

“Hehe… anak dik Tono ini lucu.” Kata Kepala Polisi. “Dan kelihatannya juga pinter. Siapa namanya?”

“Joko pak.” Jawab Tono. “Joko Sarjoko MN.”

***
“Wah banyak sekali uangnya. Minta satu ya pak!” kata Joko.

“Jangan! Sedang dihitung dulu.”

“Nah, pakne. Jadi semuanya enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah.”

“Hah… hanya segitu?”

“Kok hanya segitu! Harusnya kita berterimakasih ada orang yang tiba-tiba saja mau ngasih duwit. Pakne ini gimana tho. Kok malah menyepelekan!”

“Baiklah. Maaf. Tapi benar dugaan saya.”

“Dugaan? Dugaan yang mana?”

“Ah… sudahlah. Sebaiknya kita berdoa untui berterimakasih pada Tuhan.”

“Ooo uang ini dari Tuhan ya Mak? Ya pak?” kata Joko.

“Kurang lebih begitu.”

“Tuhan itu tiga bapak tadi ya pak?”

“Itu bukan Tuhan. Itu polisi.”

“Kenapa tidak Tuhan sendiri yang memberikannya pak? Kenapa Tuhan menitipkan pak polisi?”

“Itu yang akan bapak tanyakan di doa bapak nanti. Tapi tahukah nak; Tuhan bekerja dengan cara yang misterius!”

“Sudah le. Ayo kita berdoa.” Sahut ibunya.

Lalu mereka pun menganggkat kedua tangan. Hal itu menarik perhatian Joko. Semula Joko mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya. Namun apa yang dilakukan kedua orang tuanya benar-benar mengusiknya untuk ingin tahu. Ia heran mengapa mereka mengangkat tangannya seperti sedang meminta sesuatu? Kenapa wajah mereka tengadah? Apa yang mereka pandang? Ada orangkah di atas atap? Ada sesuatukah yang mereka pandang.

“Ya Tuhan…” Tono mulai berdoa.

“Bapak bicara dengan Tuhan? Di mana? Di mana Dia?” Joko menyahut.

“Ssssttt… cobalah tenang jika sedang berdoa!”

Joko pun duduk kembali sambil memandangi kedua orang tuanya. Sementara orang tuanya berdoa. Joko masih sibuk dengan banyak pertanyaan dalam dirinya. Ia bangkit dari duduk. Ia memandang ke arah yang di pandang kedua oarng tuanya. Sesekali menoleh ke arah mereka, lalu kembali memandang langit-langit rumah sambil berbisik.

“Hei… hei… Kamu di situ?”

Joko mulai memandangi tangan-tangan tengadah itu. Mereka sedang meminta apa? Kenapa mereka meminta? Ia mempermainkan tangan-tangan pasrah itu. Mengambil beberapa receh uang dan menjatuhkannya ke dalam tangan-tangan itu. Sebagian jatuh menimbulkan suara gemerincing.

Kurang lebih begini doa Tono:

“Ya Tuhan, terima kasih Kau benar-benar memberikan apa yang aku minta. Mungkin jika besok aku meminta lagi kepada-Mu, janganlah dititipkan pada polisi. Lihatlah apa yang mereka lakukan dengan uang satu juta-ku. Tapi saya tetap berterimakasih, walaupun aku tak tahu kemana lebih sepertiga uangku itu…!”

***

Tono benar-benar memanfaatkan uangnya. Membangun sebuah kios afdruk foto kilat di tempat yang kini sudah disediakan pemerintah daerah. Jadi kecil kemungkinan digusur lagi. Joko tetap dengan segudang pertanyaannya. Bapak-bapak polisi gembira telah membantu rakyat kecil, walaupun hanya seorang. Dan kehidupan pun kembali normal!



Sumber : http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=133630

Posting Komentar

Chat-box