“Semarang… Jakarta… Bandung… Jogja… Jogja lagi… Jakarta…” Suratman memilah surat berdasarkan kota. “Makasar… Sorong… Surga… Sura… … Surga? …Surga!!” Suratman kaget melihat sepucuk surat yang masih agak basah di salah satu ujungnya. Surat itu ditujukan dengan alamat yang sangat pendek “Kepada Tuhan di Surga”.
“Maaf!” Seorang petugas menaruh beberapa surat lagi di karung Suratman. “Ini tadi harusnya ikut dalam kantungmu. Ratman… Ratman…?” ia mendekatkan diri kepada Suratman yang masih terdiam. “Sebaiknya kau lebih cepat mensortir suratnya. Surat-surat itu harus segera sampai tujuan!”
“Surga?... Sampai tujuan?” kata Suratman sedikit bergumam. “Kau tahu di mana Tuhan?” Tanya Suratman pada teman sebelahnya yang juga sedang mensortir surat.
“Tuhan?” kini ada dua orang terheran-heran dalam ruangan itu. “Kenapa? Kamu sedang ada masalah dengan kehidupan spiritualmu?”
“Kamu tahu surga ada di mana?”
“Sudahlah! Kalau mau khotbah jangan di sini! Aku sedang sibuk. Sebaiknya kau selesaikan juga pekerjaanmu!”
Suratman menjadi salah tingkah. Ia melihat sekeliling, seperti sedang memeriksa sesuatu. Lalu ia memasukkan surat itu ke saku bajunya dan melanjutkan pekerjaannya.
“Pak… Pak!” Kata Suratman. “Apakah ada surat lain yang akan diantarkan ke surga?”
“Hah! Apa maksudmu?” Kata tukang pos itu terheran-heran.
“Maukah mengantarkan surat ini?” Sambil menyodorkan surat yang ditemukannya tadi.
Tukang pos itu membaca alamat surat itu. Walaupun tulisan alamat pendek, tapi ia membaca surat itu berulang-ulang. Mobolak-balikkan surat itu. Membaca nama pengirimnya. Lalu kemudian ia tertawa lebar.
“Hah…ha…ha…! Pasti dia bercanda! Tidak-tidak. Aku tidak mau mengantarkannya. Aku masih ingin menikmati dunia ini. Kembalikan saja suratnya! Alamatnya tidak jelas!”
“Tapi pak, bukankah semua surat ini harus sampai?”
“Iya! Tapi bukan yang itu. Harusnya tak perlu menulis surat kepada-Nya. Atau kau mau mengantarkannya sendiri?”
“Surga di mana?”
“Jika kau ke sana. Kau tak akan kembali lagi!”
“Kenapa?”
“Tempat yang selalu senang. Tak ada kesedihan. Tak ada orang jahat. Tak ada kata sengsara. Ah… sudahlah! Aku harus mengantar surat-surat ini. Sampai jumpa!” Pak pos itu lagi menderu dengan motornya, melaju dan menghilang di tikungan gerbang kantor pos yang besar.
“Tempat yang selalu menyenangkan?” gumam Suratman. “Kenapa membosankan sekali kedengarannya.”
“Wah, terus bagaimana dengan surat ini pak Polisi? Surat ini kan harus sampai ke tujuannya.”
“Gimana ya? Saya juga belum pernah pergi ke sana jhe. Alamat pengirimnya juga ndhak jelas. Tapi coba akan saya tanyakan pada seluruh anak buah saya. Siapa tahu ada yang tahu.”
Pak Kepala Polisi lalu memerintahkan seluruh anak buahnya untuk berkumpul. Mencoba memusyawarahkan tentang bagaimana selanjutnya nasib surat yang di bawa Suratman.
Ruang Kepala Polisi yang berhawa dingin karena ada sebuah Air Conditioner dipasang di dinding. Beberapa prajurit Maba yang botak kelihatan lega setelah memasuki tempat itu, peluhnya segera di usap dengan tangan. Namun para Reserse yang berpakaian preman tak mempunyai masalah dengan tempat itu, mereka sepertinya sudah akrab dengan hawa dingin buatan itu.
“Jadi bapak juga tidak berani membuka suratnya?” kata seorang Sertu.
“Tidak bisa. Dari pihak kantor pos sendiri juga harus menjaga privacy pengirim dan yang dikirimi surat. Begitu tho dik Ratman?”
“Inggih!”
“Sebentar akan saya lihat dulu!” kata Kepala Serse. “Beri saya waktu 5 menit!” lalu Kepala Serse dengan pakaian santai itu membolak-balik surat itu. Sementara semua menunggu apa yang akan terjadi.
“Tak dapat dipungkiri. Ini adalah sebuah surat!” lanjut Kepala Serse.
“Heh… Saya sudah tahu.” Kata Kepala Polisi.
“Suratnya basah!” balas Kepala Serse.
“Bapak harus membukanya! Saya kira ini penting untuk kelanjutannya nanti.!” Kata suara yang ada di tengah.
“Iya, sebaiknya suratnya dibuka saja!” Balas yang lain.
Ruangan menjadi riuh rendah dengan suara-suara. Kebanyakan mendesak Kepala Polisi untuk membukanya.
“Ini sulit. Gimana dik Ratman?”
“Tapi pak…” Suratman lama berpikir. Memandangi seluruh manusia yang berkumpul di ruangan yang kecil itu. Semuanya menunggu. Hawa dingin dari AC sudah lagi tak terasa, terkalahkan oleh suhu tubuh seluruh orang di situ. “Baiklah pak, kalau itu membuat semuanya jadi jelas.”
“Heh…” Kepala Polisi menghela napas, memandangi lama surat yang agak kusut dan lecek itu tergeletak di meja. “Kopral! Bukalah surat ini!”
Ternyata Kopral masih punya bawahan lagi. Maka ia menunjuk bawahannnya untuk membuka surat. Lama bawahan itu ditunggu. Lalu keluarlah seseorang yang mengenakan masker kain di mukanya.
“Kamu yang akan membuka surat ini?”
“Siap pak! Iya pak.”
“Mukamu cukup aneh untuk membuka surat.”
“Siap pak! Saya takut ini adalah surat dari Timur Tengah yang nyasar ke sini Pak!”
“Baiklah. Buka saja suratnya!”
Seorang Maba di belakang berbisik pada teman di sebelahnya.
“Apa maksudnya surat dari Timur Tengah?”
“Ssstt… Anthrax!”
“Anthrax?!”
Bapak Kepala Polisi menunjukkan wajah yang sedih setelah membaca surat itu. Beberapa kali ia mengusap wajah dan menghela nafas panjang. Setelah berpikir aga lama ia berkata.
“Heh… menyedihkan surat ini. Coba kalian baca sendiri!”
Lalu surat utu berpindah dari tangan ke tangan. Membuat surat itu bertambah kusut. Banyak orang yang setelah membaca surat itu menampakkan kesedihan yang mendalam. Suasana menjadi begitu sedih di ruangan itu. Sampai tibalah surat itu di tangan salah seorang staf Serse.
“Lihat! Beberapa kata di sini sudah luntur karena air.”
“Iya. Mungkin saja itu air mata yang menetes ketika ia sedang menulis.” Celetuk yang lain.
“wahh… pasti dia menulis sambil menangis.”
“Bisa saja istrinya sedang mendikte suaminya sambil menggendong anaknya. Si istri menangis mengenai anaknya. Anaknya juga menangis mengenai bapaknya. Bapaknya juga menangis. Jadi air matanya akan banyak sekali.”
“Sampai dia tidak punya kertas lagi untuk menulis.”
“Lihat! Bahkan dia tidak punya setip[1]!”
Ruangan kembali ramai oleh banyak pendapat. Namun Kepala Serse kembali menengahi pembicaraan yang ramai itu.
“Stop! Jangan berprasangka dulu. Kita menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Mungkin saja itu adalah air liur!”
“Ini adalah surat untuk Tuhan. Ada yang tahu di mana Tuhan tinggal?”
“Saya tidak tahu.”
“Setahu saya Dia bisa tinggal di mana saja.”
“Kata orang rumahnya luas.”
“Saya belum pernah ke tempat Tuhan.”
“Tuhan? Siapa Dia?”
“Selebritis ya? Wah ga pernah nonton tivi aku!”
Suara bersahutan kembali terdengar. Ruangan kembali menjadi ramai. Semua saling bertanya dan menjawab.
“Kita semua tidak tahu di mana Tuhan tinggal.” Kata Kepala Polisi. “Jadi begini saja. Saya perintahkan kita menyumbangkan sedikit uang kita untuk orang yang menulis surat ini! Semua yang di sini harap menyumbang walaupun hanya sepeser. Ini perintah! Polisi prihatin dengan orang tersebut. Kini kumpulkan uang kalian. Saya juga akan menyumbang!”
Semua merogoh saku yang ada di pakaiannya. Beberapa mengeluarkan dompet. Suara gemerincing uang terdengar saling bersahutan. Beberapa saat kemudian, meja Kepala Polisi di penuhi uang. Tersebar dari mulai uang receh samapi kertas puluhan ribu. Beberapa prajurit bawahan menghitung uang yang kebanyakan sudah lecek.
“Siap pak! Semuanya ada enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus dua puluh lima rupiah pak!
”Baru segitu?”
“Siap pak! Saya menemukan dua keping receh lagi pak! Semuanya jadi enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah pak!
“Baiklah. Kita memang bukan Tuhan. Tapi saya rasa jumlah ini akan menenangkan orang ini. Kita akan mencari alamat orang ini dan menyerahkan uangnya. Masukkan uangnya ke dalam amplop!”
“Siapa suruh kalian meniggalkan tugasnya!” teriak Kepala Polisi mengagetkan semua. “Kembali pada tugas kalian! Saya hanya pergi dengan beberapa perwira saja. Mereka sebenarnya butuh kita. Sekarang lihat apa yang kita perbuat!”
Jalan di depan Polsek itu sudah penuh dengan kendaraan yang semrawut. Bis-bis dengan asapnya yang hitam, taksi dan mobil pribadi saling membunyikan klakson. Motor-motor menggeber-geber dan menelusupi celah-celah mobil yang membahayakan para penyeberang jalan yang sedang menyeberang sembarangan. Lalulintas jalanan benar-benar kacau saat itu
“Maaf!” Seorang petugas menaruh beberapa surat lagi di karung Suratman. “Ini tadi harusnya ikut dalam kantungmu. Ratman… Ratman…?” ia mendekatkan diri kepada Suratman yang masih terdiam. “Sebaiknya kau lebih cepat mensortir suratnya. Surat-surat itu harus segera sampai tujuan!”
“Surga?... Sampai tujuan?” kata Suratman sedikit bergumam. “Kau tahu di mana Tuhan?” Tanya Suratman pada teman sebelahnya yang juga sedang mensortir surat.
“Tuhan?” kini ada dua orang terheran-heran dalam ruangan itu. “Kenapa? Kamu sedang ada masalah dengan kehidupan spiritualmu?”
“Kamu tahu surga ada di mana?”
“Sudahlah! Kalau mau khotbah jangan di sini! Aku sedang sibuk. Sebaiknya kau selesaikan juga pekerjaanmu!”
Suratman menjadi salah tingkah. Ia melihat sekeliling, seperti sedang memeriksa sesuatu. Lalu ia memasukkan surat itu ke saku bajunya dan melanjutkan pekerjaannya.
***
Motor-motor berwarna oranye hampir semuanya sudah berisi penuh surat-surat yang akan diantar sampai ke tujuan. Beberapa tukang pos bahkan sudah ada yang berangkat. Suratman menghampiri salah satu tukang pos yang sedang memasang helm.“Pak… Pak!” Kata Suratman. “Apakah ada surat lain yang akan diantarkan ke surga?”
“Hah! Apa maksudmu?” Kata tukang pos itu terheran-heran.
“Maukah mengantarkan surat ini?” Sambil menyodorkan surat yang ditemukannya tadi.
Tukang pos itu membaca alamat surat itu. Walaupun tulisan alamat pendek, tapi ia membaca surat itu berulang-ulang. Mobolak-balikkan surat itu. Membaca nama pengirimnya. Lalu kemudian ia tertawa lebar.
“Hah…ha…ha…! Pasti dia bercanda! Tidak-tidak. Aku tidak mau mengantarkannya. Aku masih ingin menikmati dunia ini. Kembalikan saja suratnya! Alamatnya tidak jelas!”
“Tapi pak, bukankah semua surat ini harus sampai?”
“Iya! Tapi bukan yang itu. Harusnya tak perlu menulis surat kepada-Nya. Atau kau mau mengantarkannya sendiri?”
“Surga di mana?”
“Jika kau ke sana. Kau tak akan kembali lagi!”
“Kenapa?”
“Tempat yang selalu senang. Tak ada kesedihan. Tak ada orang jahat. Tak ada kata sengsara. Ah… sudahlah! Aku harus mengantar surat-surat ini. Sampai jumpa!” Pak pos itu lagi menderu dengan motornya, melaju dan menghilang di tikungan gerbang kantor pos yang besar.
“Tempat yang selalu menyenangkan?” gumam Suratman. “Kenapa membosankan sekali kedengarannya.”
***
“Lha nggak bisa donk dik Ratman!”“Wah, terus bagaimana dengan surat ini pak Polisi? Surat ini kan harus sampai ke tujuannya.”
“Gimana ya? Saya juga belum pernah pergi ke sana jhe. Alamat pengirimnya juga ndhak jelas. Tapi coba akan saya tanyakan pada seluruh anak buah saya. Siapa tahu ada yang tahu.”
Pak Kepala Polisi lalu memerintahkan seluruh anak buahnya untuk berkumpul. Mencoba memusyawarahkan tentang bagaimana selanjutnya nasib surat yang di bawa Suratman.
Ruang Kepala Polisi yang berhawa dingin karena ada sebuah Air Conditioner dipasang di dinding. Beberapa prajurit Maba yang botak kelihatan lega setelah memasuki tempat itu, peluhnya segera di usap dengan tangan. Namun para Reserse yang berpakaian preman tak mempunyai masalah dengan tempat itu, mereka sepertinya sudah akrab dengan hawa dingin buatan itu.
“Jadi bapak juga tidak berani membuka suratnya?” kata seorang Sertu.
“Tidak bisa. Dari pihak kantor pos sendiri juga harus menjaga privacy pengirim dan yang dikirimi surat. Begitu tho dik Ratman?”
“Inggih!”
“Sebentar akan saya lihat dulu!” kata Kepala Serse. “Beri saya waktu 5 menit!” lalu Kepala Serse dengan pakaian santai itu membolak-balik surat itu. Sementara semua menunggu apa yang akan terjadi.
“Tak dapat dipungkiri. Ini adalah sebuah surat!” lanjut Kepala Serse.
“Heh… Saya sudah tahu.” Kata Kepala Polisi.
“Suratnya basah!” balas Kepala Serse.
“Bapak harus membukanya! Saya kira ini penting untuk kelanjutannya nanti.!” Kata suara yang ada di tengah.
“Iya, sebaiknya suratnya dibuka saja!” Balas yang lain.
Ruangan menjadi riuh rendah dengan suara-suara. Kebanyakan mendesak Kepala Polisi untuk membukanya.
“Ini sulit. Gimana dik Ratman?”
“Tapi pak…” Suratman lama berpikir. Memandangi seluruh manusia yang berkumpul di ruangan yang kecil itu. Semuanya menunggu. Hawa dingin dari AC sudah lagi tak terasa, terkalahkan oleh suhu tubuh seluruh orang di situ. “Baiklah pak, kalau itu membuat semuanya jadi jelas.”
“Heh…” Kepala Polisi menghela napas, memandangi lama surat yang agak kusut dan lecek itu tergeletak di meja. “Kopral! Bukalah surat ini!”
Ternyata Kopral masih punya bawahan lagi. Maka ia menunjuk bawahannnya untuk membuka surat. Lama bawahan itu ditunggu. Lalu keluarlah seseorang yang mengenakan masker kain di mukanya.
“Kamu yang akan membuka surat ini?”
“Siap pak! Iya pak.”
“Mukamu cukup aneh untuk membuka surat.”
“Siap pak! Saya takut ini adalah surat dari Timur Tengah yang nyasar ke sini Pak!”
“Baiklah. Buka saja suratnya!”
Seorang Maba di belakang berbisik pada teman di sebelahnya.
“Apa maksudnya surat dari Timur Tengah?”
“Ssstt… Anthrax!”
“Anthrax?!”
***
Bapak Kepala Polisi menunjukkan wajah yang sedih setelah membaca surat itu. Beberapa kali ia mengusap wajah dan menghela nafas panjang. Setelah berpikir aga lama ia berkata.
“Heh… menyedihkan surat ini. Coba kalian baca sendiri!”
Lalu surat utu berpindah dari tangan ke tangan. Membuat surat itu bertambah kusut. Banyak orang yang setelah membaca surat itu menampakkan kesedihan yang mendalam. Suasana menjadi begitu sedih di ruangan itu. Sampai tibalah surat itu di tangan salah seorang staf Serse.
“Lihat! Beberapa kata di sini sudah luntur karena air.”
“Iya. Mungkin saja itu air mata yang menetes ketika ia sedang menulis.” Celetuk yang lain.
“wahh… pasti dia menulis sambil menangis.”
“Bisa saja istrinya sedang mendikte suaminya sambil menggendong anaknya. Si istri menangis mengenai anaknya. Anaknya juga menangis mengenai bapaknya. Bapaknya juga menangis. Jadi air matanya akan banyak sekali.”
“Sampai dia tidak punya kertas lagi untuk menulis.”
“Lihat! Bahkan dia tidak punya setip[1]!”
Ruangan kembali ramai oleh banyak pendapat. Namun Kepala Serse kembali menengahi pembicaraan yang ramai itu.
“Stop! Jangan berprasangka dulu. Kita menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Mungkin saja itu adalah air liur!”
“Ini adalah surat untuk Tuhan. Ada yang tahu di mana Tuhan tinggal?”
“Saya tidak tahu.”
“Setahu saya Dia bisa tinggal di mana saja.”
“Kata orang rumahnya luas.”
“Saya belum pernah ke tempat Tuhan.”
“Tuhan? Siapa Dia?”
“Selebritis ya? Wah ga pernah nonton tivi aku!”
Suara bersahutan kembali terdengar. Ruangan kembali menjadi ramai. Semua saling bertanya dan menjawab.
“Kita semua tidak tahu di mana Tuhan tinggal.” Kata Kepala Polisi. “Jadi begini saja. Saya perintahkan kita menyumbangkan sedikit uang kita untuk orang yang menulis surat ini! Semua yang di sini harap menyumbang walaupun hanya sepeser. Ini perintah! Polisi prihatin dengan orang tersebut. Kini kumpulkan uang kalian. Saya juga akan menyumbang!”
Semua merogoh saku yang ada di pakaiannya. Beberapa mengeluarkan dompet. Suara gemerincing uang terdengar saling bersahutan. Beberapa saat kemudian, meja Kepala Polisi di penuhi uang. Tersebar dari mulai uang receh samapi kertas puluhan ribu. Beberapa prajurit bawahan menghitung uang yang kebanyakan sudah lecek.
“Siap pak! Semuanya ada enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus dua puluh lima rupiah pak!
”Baru segitu?”
“Siap pak! Saya menemukan dua keping receh lagi pak! Semuanya jadi enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah pak!
“Baiklah. Kita memang bukan Tuhan. Tapi saya rasa jumlah ini akan menenangkan orang ini. Kita akan mencari alamat orang ini dan menyerahkan uangnya. Masukkan uangnya ke dalam amplop!”
***
Para polisi itu keluar dari ruangan yang sudah menjadi panas itu. Semuanya menghela nafas setelah dapat menghirup udara luar yang segar. Namun hal itu tak berlangsung lama setelah nafas mereka sudah menyesuaikan diri, dan bau karbondioksida terhirup. Tak hanya itu, ada satu hal yang membuat Kepala Polisi kaget. Dan hal itu pula yang menyebabkan mengapa bau karbondioksida terasa begitu kerasnya.“Siapa suruh kalian meniggalkan tugasnya!” teriak Kepala Polisi mengagetkan semua. “Kembali pada tugas kalian! Saya hanya pergi dengan beberapa perwira saja. Mereka sebenarnya butuh kita. Sekarang lihat apa yang kita perbuat!”
Jalan di depan Polsek itu sudah penuh dengan kendaraan yang semrawut. Bis-bis dengan asapnya yang hitam, taksi dan mobil pribadi saling membunyikan klakson. Motor-motor menggeber-geber dan menelusupi celah-celah mobil yang membahayakan para penyeberang jalan yang sedang menyeberang sembarangan. Lalulintas jalanan benar-benar kacau saat itu
Categories:
All About Story,
Artikel,
Joke,
Kisah Inspiratif

Posting Komentar