Hai…
Selamat pagi Tuhan.
Bagaimana kabar Tuhan? Apakah Tuhan baik-baik saja? Pasti baik-baik saja. Kabar saya tidak baik-baik saja. Sejak kios saya, yang sekaligus tempat tinggal saya bersama keluarga, diratakan dengan tanah dua hari yang lalu saya tinggal bersama kerabat istri saya. Kerabat istri saya mau menerima kami, tapi tidak tahu kenapa, sejak saya tinggal di sini mereka sepertinya tidak mau lagi tersenyum kepada kami. Istri saya menjadi sering marah, lalu anak kami masih terlalu kecil. Dia masih suka bermain dan tidak tahu apa yang sudah terjadi pada kami.
Saya…
“Mas! Mbok ya sudah!” bentak istri Tono dari ruang lain yang hanya tersekat tripleks, membuat ia tersentak dan menghentikan gumammannya saat menulis surat. “Apa kalo berdoa terus rejeki bisa datang tiba-tiba jatuh dari langit?!”
“Aku tidak sedang berdoa! Aku sudah lagi tidak berdoa! Aku lagi nulis surat!”
“Surat? Surat buat siapa?” Sambil membenahi pakaian kotor yang akan dicucinya beranjak ke ruang lain. Ruangan Tono menulis.
“Buat Tuhan!”
“Tuhan?! Whoallaah…. Pakne… pakne. Wong kok senengane nganeh-nganehi. Mbok sudah cari kerjaan sana. Kalo lagi susah saja, baru berdoa sampai sarungnya sobek kayak gitu itu.!. Apa kita mau nginep di sini terus? Anak kitakan masih kecil. Nggelidhikke wae setengah modiar…” istri Tono terus mengomel sekan tiada akan pernah berhenti.
Tono kembali meneruskan suratnya. Mengacuhkan istrinya yang masih mengomel di belakang sambil membenahi pakaian kotor, lalu mulai keluar. Kata “Saya” yang sepat ditulisnya sudah lupa ia akan diteruskan dengan kalimat apa. Coba dihapusnya sebisa mungkin dengan tangan, membuat kertas itu jadi kotor.
Maaf Tuhan. Istri saya tadi ngomel lagi.
Oh iya. Tadi saya mau cerita tengtang kios saya. Saya tidak tahu mengapa kios saya dan kios teman-teman yang lain digusur. Sebuah universitas di pinggir selokan mau melebarkan dirinya. Katanya itu mengganggu pemandangan. Harus dibersihkan. Padahal saya dan keluarga mandi setiap hari. Memang Joko, anak saya, suka susah dimandikan. Kadang saya harus main kejar-kejaran dengan dia yang sudah telanjang bulat.
Sekarang di rumah kerabat istri saya. Kami merasa tak enak dengannya. Rumahnya jadi tambah sempit dengan adanya kami. Maka saya bermaksud membuat kios lagi untuk dijadikan tempat tinggal dan membuka usaha Afdruk Foto hitam putih.
Tuhan. Maaf, saya tidak lagi berdoa kepada-Mu, tapi menulis surat kepada-Mu. Karena tak tahu lagi kemana kau harus mengadu. Penderitaan saya sekarang semakin berat. Saya harus memberi makan pada istri dan anak saya. Untuk itu sudilah kiranya Tuhan memberikan bantuan kepada kami. Kami hanya minta uang satu juta saja Tuhan. Untuk membangun kios dan usaha saya.
Semoga Tuhan mau membantu.
Hormat saya
Tono Rintono MS
Tono lalu melipat selembar surat dan memasukkannya ke dalam amplop putih dengan garis-garis tebal pendek di pinggirnya berwarna biru, putih, merah saling berseling. Tak lupa ia menutup amplop itu dengan menjilati salah satu pinggirnya agar dapat ditempel. Lalu menuliskan alamat;
Kepada
Tuhan
Di Surga
Juga alamatnya sendiri yang masih mendompleng di rumah kerabat istrinya itu.
“Ya Tuhan, akau tidak tahu apakah ini sampai atau tidak. Dan apakah perangko 1000 ini cukup mengantar surat ini?” kata Tono dalam hati.
Selamat pagi Tuhan.
Bagaimana kabar Tuhan? Apakah Tuhan baik-baik saja? Pasti baik-baik saja. Kabar saya tidak baik-baik saja. Sejak kios saya, yang sekaligus tempat tinggal saya bersama keluarga, diratakan dengan tanah dua hari yang lalu saya tinggal bersama kerabat istri saya. Kerabat istri saya mau menerima kami, tapi tidak tahu kenapa, sejak saya tinggal di sini mereka sepertinya tidak mau lagi tersenyum kepada kami. Istri saya menjadi sering marah, lalu anak kami masih terlalu kecil. Dia masih suka bermain dan tidak tahu apa yang sudah terjadi pada kami.
Saya…
“Mas! Mbok ya sudah!” bentak istri Tono dari ruang lain yang hanya tersekat tripleks, membuat ia tersentak dan menghentikan gumammannya saat menulis surat. “Apa kalo berdoa terus rejeki bisa datang tiba-tiba jatuh dari langit?!”
“Aku tidak sedang berdoa! Aku sudah lagi tidak berdoa! Aku lagi nulis surat!”
“Surat? Surat buat siapa?” Sambil membenahi pakaian kotor yang akan dicucinya beranjak ke ruang lain. Ruangan Tono menulis.
“Buat Tuhan!”
“Tuhan?! Whoallaah…. Pakne… pakne. Wong kok senengane nganeh-nganehi. Mbok sudah cari kerjaan sana. Kalo lagi susah saja, baru berdoa sampai sarungnya sobek kayak gitu itu.!. Apa kita mau nginep di sini terus? Anak kitakan masih kecil. Nggelidhikke wae setengah modiar…” istri Tono terus mengomel sekan tiada akan pernah berhenti.
Tono kembali meneruskan suratnya. Mengacuhkan istrinya yang masih mengomel di belakang sambil membenahi pakaian kotor, lalu mulai keluar. Kata “Saya” yang sepat ditulisnya sudah lupa ia akan diteruskan dengan kalimat apa. Coba dihapusnya sebisa mungkin dengan tangan, membuat kertas itu jadi kotor.
Maaf Tuhan. Istri saya tadi ngomel lagi.
Oh iya. Tadi saya mau cerita tengtang kios saya. Saya tidak tahu mengapa kios saya dan kios teman-teman yang lain digusur. Sebuah universitas di pinggir selokan mau melebarkan dirinya. Katanya itu mengganggu pemandangan. Harus dibersihkan. Padahal saya dan keluarga mandi setiap hari. Memang Joko, anak saya, suka susah dimandikan. Kadang saya harus main kejar-kejaran dengan dia yang sudah telanjang bulat.
Sekarang di rumah kerabat istri saya. Kami merasa tak enak dengannya. Rumahnya jadi tambah sempit dengan adanya kami. Maka saya bermaksud membuat kios lagi untuk dijadikan tempat tinggal dan membuka usaha Afdruk Foto hitam putih.
Tuhan. Maaf, saya tidak lagi berdoa kepada-Mu, tapi menulis surat kepada-Mu. Karena tak tahu lagi kemana kau harus mengadu. Penderitaan saya sekarang semakin berat. Saya harus memberi makan pada istri dan anak saya. Untuk itu sudilah kiranya Tuhan memberikan bantuan kepada kami. Kami hanya minta uang satu juta saja Tuhan. Untuk membangun kios dan usaha saya.
Semoga Tuhan mau membantu.
Hormat saya
Tono Rintono MS
Tono lalu melipat selembar surat dan memasukkannya ke dalam amplop putih dengan garis-garis tebal pendek di pinggirnya berwarna biru, putih, merah saling berseling. Tak lupa ia menutup amplop itu dengan menjilati salah satu pinggirnya agar dapat ditempel. Lalu menuliskan alamat;
Kepada
Tuhan
Di Surga
Juga alamatnya sendiri yang masih mendompleng di rumah kerabat istrinya itu.
“Ya Tuhan, akau tidak tahu apakah ini sampai atau tidak. Dan apakah perangko 1000 ini cukup mengantar surat ini?” kata Tono dalam hati.
***
Seorang anak kecil yang masih cukup basah berlari masuk ke ruang di mana Tono baru selesai menulis surat. Sementara istrinya berteriak-teriak memanggil anak itu.
“Heh! Joko! Jangan lari-lari dulu! Ayo andhukan, terus pake pakaiannya! Joko…! He Joko…!”
“Hiya! Ketangkap!” tiba-tiba Tono menangkap tubuh mungil itu dari larinya. “Hayoh pakaiannya dipakai dulu. Kalau nggak bersih, nanti kamu juga tak gusur…! Tak kintung kintang kintung, anakku sing bagus dhewe!” sementara si anak tertawa-tawa dalam gendongan bapaknya.
“Naaa… beginikan jadi bagus. Wah, nggantheng ya anake bapak.!” Kata Tono.
“Itu apa pak?” Tanya Joko yang matanya tertuju pada surat di atas meja.
“Ooo… bapak minta tolong ya Jok! Nanti poskan surat ini. Tahukan? Di depan gang itu kan ada kotak oranye, nah di kotak itu ada lubang yang panjang. Masukkan saja surat ini ke dalam situ! Bapak tak mandi dulu biar nggantheng kayak kamu, trus bisa cari kerja”
“Surat itu apa pak?”
“Surat itu jika kamu ingin mengatakan atau mengungkapkan sesuatu kepada orang yang jauh, kamu bisa menuliskannya di atas kertas dan mengirimkannya.”
“Ooo… Surat ini buat siapa pak?”
“Tuhan.”
“Tuhan itu siapa pak?”
“Tuhan itu mmmm… Tuhan itu… “orang baik”!”
“Tuhan memangnya tinggalnya jauh ya?”
“Tuhan ada di surga.”
“Surga itu di mana?”
“Di sana! Di atas sana!” sambil menunjuk ke atas.
Joko mendongak ke atas mengikuti arah telunjuk bapaknya. Ia sepertinya sedang berpikir keras.
“Kalau Tuhan tinggal di genteng, kenapa saya harus pergi ke depan gang dan memasukkan surat ini di kotak oranye? Bapak bisa pinjam tangga dan memberikannya sendiri kepada-Nya. Saya takut kalau naik genteng nanti dimarah simbok!”
“Heh…he… bukan di atas situ. Begini saja, Joko tahu kalau Joko anak yang hebat?”
“Joko anak yang hebat!” ulang Joko penuh semangat.
“Nah… sekarang masukkan saja surat ini ke kotak oranye itu!”
“Baik pak!’
“Karena Joko adalah anak yangggg…”
“… Hebat!!”
Joko turun dari kursi dan berlari keluar dengan riang gembira.
Tapi tak lama kemudian Joko kembali kerumah sambil terpincang-pincang. Dengan wajah lugu dan tampang yang tanpa dosa dia berkata.
“Pak! Joko menginjak tahi ayam.”
Kontan saja, simboknya yang kebetulan lewat di situ langsung ngomel lagi.
“Whoalaahhh bocah! Wis siram, bagus-bagus kok ya ngidhak telek! Ayo wijik. Cuci kakinya biar bersih!” ajak ibunya.
“Eh tapi awas! Suratnya jangan sampai basah!” Teriak Tono pada istri dan anaknya.
***
Tangan kecil meraba-raba pada lubang kotak surat. Surat yang agak basah di beberapa bagian itu pun akhirnya masuk juga. Joko merasa gembira bisa memasukkan surat itu, pasti bapaknya akan senang. Tapi yang membuat dia heran adalah, bagaimana mungkin surat itu akan sampai pada orang di lain tempat. Sedangkan surat itu sekarang ada di dalam sana. Apakah benda ini yang akan mengatarkannya?
Ia meneliti kotak surat itu. Barangkali ada saluran yang menghubungkan kepada Tuhan di atas sana. Tapi ia tak menemukan. Hanya empat besi baja yang menopang kotak surat oranye yang sudah agak berkarat itu. Dia mengambil beberapa batu besar dengan susah payah dan menumpuknya hingga ia bisa berdiri dan melihat ke dalam lubang panjang kotak itu. Ternyata lubang itu tertutup. Tapi dia berusaha mengintipnya. Atau berteriak.
“OOOIIIIIII…!” menggebuk kotak itu dan memanggil. “Tuhaaannnn…!”
ia memandang ke atas. Ke langit yang mulai siang dan cerah.
Ia masih tak habis pikir. Mungkin kotak ini akan terbang ke atas sana, ke tempat Tuhan. Bagaimana bapaknya bisa kenal Tuhan? Apakah Tuhan itu adalah bagian dari keluarganya? Siapakah Tuhan itu? Apakah bapaknya bisa terbang untuk bertemu Tuhan?! Dan sekarang masih cukup pagi untuk terbang?
Ia lalu memutuskan utuk bersembunyi. Siapa tahu kotak itu malu untuk terbang karena ada dia yang menunggunya di situ. Lama ia bersembunyi. Setiap kepalanya menyembul, kotak oranye itu masih berdiri ditempatnya. Dia lalu menghampiri kotak itu lagi.
“Ayolah kotak! Terbanglah! Antarkan surat bapak kepada Tuhan!”
Kotak surat masih diam saja dipinggir jalan, ditengah panas.
“Terbang! Terbang! Kau harus terbang!” Teriak Joko sambil memukul-mukul bagian bawah kotak itu hingga menimbulkan suara yang berisik.
Sebuah mobil box warna oranye berhenti. Seorang keluar dan berteriak pada Joko.
“Hei! Jangan kau pukul-pukul kotak itu!”
Joko yang masih memukuli kotak itu kaget setengah mati melihat orang yang berteriak kepadanya. Spontan saja ia lari dan bersembunyi di tempatnya tadi. Sementara petugas pos membuka kotak oranye dan mengeluarkan benda di dalamnya, mengganti dengan yang lain.
Joko semakin bertanya-tanya. Siapakah dia? Maka dia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan mendekati petugas itu.
“Saya tadi memasukkan surat bapak saya.”
“O ya?”
“Apakah bapak Tuhan?”
“Tuhan?!” petugas itu terheran dan menoleh ke sekelilingnya. “Saya petugas pos nak! Tuhan ada di atas sana. Sedang mengawasi kita!”
Lalu petugas itu pun pergi dengan mobil boxnya. Menghilang di keramaian. Joko semakin kagum dengan Tuhan. Tapi masih banyak pertanyaan yang menurut Joko harus dijawab.
Joko mendongak ke atas. Ekspresi silau ada di wajahnya karena matahari sangat terik. Ia lalu duduk di kolong kotak surat itu.
“Tuhan! Sekarang Kau tidak bisa mengawasiku. Aku sedang bersembunyi!”
***
Puluhan box bertumpuk di kantor pos. Usai dikeluarkan dari mobil box yang mengambilnya dari kotak-kotak surat di pinggir-pinggir jalan, surat yang ada di dalamnya akan dikeluarkan dan dikumpulkan untuk di sortir. Memilah dalam wilayah dengan kode-kode yang sudah ditentukan.
“Ratman!” teriak petugas pengawas pada salah seorang. “Satu lagi kantong untuk kau sortir. Sebagai pegawai baru, ini adalah ujian untukmu. Kerjakan dengan baik!”
“Ya! Baik pak!” balas Suratman.
“Su” dalam bahasa Jawa artinya “baik”, namun ia tidak tahu apa artinya “Ratman”. Katanya orang Jawa dalam memberi nama, adalah suatu doa. Kini ia tahu apa keinginan orang tuanya setelah ia diterima kerja di kantor pos. Kakaknya mendapat nama Wakiman, sekarang ia bekerja di bagian pengemasan pabrik elektronik, khusus mengemas radio-tape yang kecil. Belakangan ia tahu, radio-tape kecil itu ternyata sering disebut “Walkman”. Namun yang tak habis pikir adalah adik perempuannya. Namanya Rosilawati. “Ros… Rosi… Ros… Si… La… Wati” ia tetap bingung artinya, tapi ia masih berpikir kenapa adiknya itu sekarang bisa bekerja di toko bunga.
Categories:
All About Story,
Artikel,
Joke,
Kisah Inspiratif

Posting Komentar