“Sesungguhnya impianku cukup sederhana,bahkan sangat sederhana. Sebuah keluarga kecil yang sederhana. Anak-anak yang lucu dan bertingkah sederhana. Tinggal di rumah sederhana. Tak apalah jika butuh waktu 15 tahun untuk melangsaikan cicilannya. Tapi mengapa impian itubegitu sulit ku gapai. Begitu rumit untuk diwujudkan. Sewindu sudah kumerangkai impian sederhana itu tapi tetap saja masih belum berubah. Masih tetap impian yang harus tetap dikerjar.
Sementara dia, begitu mudahnya meraih impian yang kurasa adalah hal termuluk yang pernah ku dengar. Menikah dengan seorang laki-laki kaya. Tinggal di rumah mewah di kawasan elite. Tak perlu lagi menginjak tanah untuk pergi kemanapun dia mau. Ah sungguh beruntung kawanku itu. Tapi sayang sekali. Semudah mendapatkannya, lebih mudah lagi dia membuangnya. Cuma dengan satu narasi sederhana; sudah tidak ada kecocokan, hati yang sudah tidak bisa menyatu dan….bla…bla…bla. akhirnya semua menjdi kenangan”.
Begitulah Lincan bertutur padaku, pada sebuah sore yang gerimis sambail menggenggam cangkir kopi yang sudah tak bisa dibilang panas.
Pertemuanku dengan Lincan tidak direncanakan. Diawali oleh sebuah sapaan sederhana di wall fbnya. Akhirnya kami sepakat bertemu sore itu disebuah kafe.
“Aku sedang pusing, bingung dan entahlah……”. Begitu dia mengawali pembicaraan sambil tanggannya sesekali menunjuk menu yang ingin dia pesan kepada pelayan.
Akhirnya pembicaraan kami bergulir. Banyak cerita yang kami bagi dan berlomba untuk menyampaikannya. Semua cerita basi itupun menjadi hangat kembali karena baru pertama didengar oleh aku dan dia.
Sore semakin gerimis. Ada panggilan yang harus segera kupenuhi. Jalan kami kembali terbagi. Dan masing-masing harus menjalani jalan yang berbeda walaupun tujuannya sama. Kami ingin pulang, melanjutkan perjuangan meraih impian. Perlahan dan lirih aku berbisik. “Teman, impianku sama sederhananya, tapi tak kalah rumit untuk mewujudkannya”.
Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2010/12/05/sebuah-impian-sederhana/

Posting Komentar