,

Cerita ini sebenarnya sudah terjadi tanggal 27 Maret 2010 yang lalu, yaitu ketika dalam rangka praktek lapangan Kelas Menulis Jurnalisme yang diselenggarakan oleh Sloka Institute, mereka mengadakan kunjungan ke lapas anak yang berada di Karangasem. Saya bukan peserta kelas menulis tersebut, namun sebagai “penyusup” yang tertarik untuk melihat keseharian penghuni lapas anak. Karena terlalu banyak kegiatan, belum sempat menuliskan pengalaman menarik selama berkunjung di Bumi Ramah Anak Amlapura, Karangasem akhir bulan Maret lalu itu.

Selain untuk praktek lapangan, kunjungan ke lapas anak tersebut juga disertai dengan bakti sosial berupa pemberian sumbangan terutama buku-buku, majalah dan alat tulis yang dikumpulkan dari beberapa pihak. Tidak hanya itu saja, saya pun membawa bola basket yang tidak terpakai di rumah buat para penghuni lapas yang sebagian besar masih dalam kelompok umur anak-anak. Ada juga yang menyumbangkan stick billiard karena di lapas hanya ada meja dan bola bilyard. Bowo membawa satu set senar gitar yang akan digunakan untuk gitar yang ada di studio musik di lapas. Jangan bayangkan sebuah studio yang lengkap dengan alat-alat musik dan sound system, namun di sana hanya ada satu gitar elektrik dan satu set drum butut dengan sepasang stick drum yang keduanya sudah patah jadi dua dan dibungkus isolasi hitam.

Buku-buku yang disumbangkan, diharapkan dapat membantu mengurangi kebosanan penghuni lapas anak selama mereka di balik jeruji besi, juga sebagai tambahan pengetahuan dan informasi. Alat-alat tulis yang diberikan pun memiliki tujuan sebagai tempat curahan hati karena masing-masing memiliki cerita yang menarik. Banyak di antara penghuni lapas anak itu yang tertarik menulis, entah puisi, cerita pendek hingga syair lagu. Apapun yang ingin ditulis, bisa ditulis di buku-buku agenda yang dibagikan. Sangatlah disayangkan, mereka tidak mendapat program pendidikan, padahal anak sesuai mereka seharusnya memperoleh pendidikan.

Menyaksikan kehidupan anak-anak lapas dari dekat, perasaan saya digiring untuk merasakan apa yang dirasakan oleh penghuninya. Sebuah ruangan saya masuki. Di dalamnya terdapat satu buah kasur. Bau di dalamnya tidak karuan. Ternyata tempat MCK menjadi satu dalam ruangan tersebut, hanya dibatasi oleh sebuah lemari kecil, tanpa ditutup seperti kamar hotel atau kamar kost yang memiliki kamar mandi dalam.

Kamar sel tersebut dihuni oleh M (sengaja saya menuliskannya pakai inisial), seorang anak yang masih berusia sekitar 16 tahun. Saya sempatkan berbincang-bincang dengan dia. Kasus pencurian kabel telah mengantarkannya ke balik jeruji besi. Dia masuk ke lapas tersebut per tanggal 20 April 2008 dan akan keluar 4,5 tahun kemudian atau pada 22 Juni 2012.

Saya mengamati tulisan-tulisan yang terpampang di kamar kecil tersebut. Ada motivasi melalui tulisan “Esok Penuh Harapan” yang terpasang di dinding. Saya yang membaca tulisan itu termotivasi, dan semoga M pun ikut termotivasi dengan tulisan yang hampir tiap hari dia baca.

Lain lagi cerita AH. Seorang pemuda yang berusia 23 tahun. Sejak 14 September 2008, dia telah menghuni lapas anak di Amlapura tersebut. Ketika saya tanya kasus apa yang menyeretnya ke lapas ini, dia tidak bercerita. Mungkin tidak ingin mengingat-ingat kejadian pahit yang telah dialami. Dia mengungkapkan penyesalan atas apa yang telah dilakukannya. Lebih lagi, hingga saat ini, dia tidak memberitahukan keberadaa dirinya kepada orang tua di Lombok. Hal tersebut dia tempuh karena ibunya mengidap penyakit jantung. Dia khawatir kalau sampai orang tuanya mendengar kasus yang menimpanya, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hmmm, yang ada mungkin hanyalah penyesalan. Namun, saya bisa melihat raut muka AH di sana bahwa mereka memendam kerinduan pada orang tuanya, dan sangat mungkin anak-anak penghuni lapas yang lain pun merasakan penyesalan atas tindakan yang mereka perbuat dan juga merasakan kangen ke orang tua.

Terlepas dari itu semua, tidak kalah penting adalah memikirkan masa depan anak-anak penghuni lapas tersebut selepas menjalani hukuman. Tugas negara adalah menyediakan fasilitas pembinaan ke anak-anak yang ada di lapas sana agar ketika nanti keluar, mereka dapat kembali bersosialisasi ke masyarakat. Jangan sampai mereka terjerumus ke lubang yang sama lagi baik karena faktor terpaksa atau faktor lingkungan yang mempengaruhi. Namun, tampaknya belum ada program pembinaan yang optimal untuk anak-anak penghuni lapas. Pada usia-usia seperti mereka, seharusnya mereka mendapat pendidikan dan pembinaan agar ketika terjun ke masyarakat mereka dapat berbuat sesuatu yang positif untuk lingkungan mereka.



Sumber : http://winarto.in/2010/04/anak-anak-di-balik-jeruji-besi/

Posting Komentar

Chat-box