, ,

Aku selalu bertanya-tanya apakah sebenarnya arti setia? Aku mencintainya. Nafsuku tertuju padanya. Tapi akal sehatku terarah pada dia. Siapakah yang harus kupilih antara dirinya dan dia. Antara cinta yang menggebu-gebu dan kasih yang telah berdebu. Antara cinta dan asa, ataukah cita dan rasa.

Dirinya yang penuh ketidakpastian dan dia yang menjanjikan masa depan. Aku merasa terombang-ambing diantara keduanya. Ketidakpastian itu begitu menggiurkan. Masa depan cerah cemerlang itu begitu menyilaukan. Hingga kurasa silau itu membutakan.

Begitu singkat pertemuan itu dengan dirinya, membekas. Begitu lama perjumpaan itu dengan dia, memudar. Aku mengenal dirinya dalam waktu teramat singkat. Bekasnya tak bisa hilang. Nodanya semakin menghitam. Dia yang kukenal telah bertahun lamanya. Semakin hari sayangku semakin memudar.

Nafsuku berkata tinggalkan saja dia dan kejarlah dirinya. Ambillah segala resiko dan usahakanlah segala upaya. Menggapai cinta adalah segalanya. Dan telah kau temukan cinta di dalam dirinya. Akal sehatku berkata tinggalkanlah dirinya dan kembalilah pada dia. Dia yang selalu setia. Yang tak menyesatkan asa. Dia yang menawarkan cinta tanpa syarat.

Aku mengenal dirinya hanya dalam waktu tiga bulan. Kukenal dia di dunia maya. Dunia yang menjanjikan segala sesuatu yang virtual. Lewat dunia itu kejalajahi ganasnya cinta. Lewat dunia itu kukenal indahnya menjadi liar. Lewat dunia itu tanpa sadar kumulai mencintai dirinya.

Aku telah bersama dia selama bertahun lamanya. Membangun pilar cinta dan sayang dengan perlahan. Hingga akhirnya pilar itu membumbung dengan tingginya. Bahkan sempat melintasi awan. Badai maya pun menghadang. Kutemukan pilar itu mulai runtuh perlahan-lahan.

Dirinya dan segala keindahan maya yang ditawarkannya. Ah, aku terbuai di dalamnya. Betapa dunia maya menjanjikan segalanya. Meskipun semua itu tetaplah maya. Aku benar-benar tenggelam di dalam khayal yang dibawanya. Terbuai dalam mimpi yang disuguhkannya. Hingga akhirnya kata-kata cinta pun meluncur tak terduga. Oh, aku telah mencintai dirinya. Dirinya yang kukenal di dunia maya.

Tapi, di dunia nyata ada dia. Dia yang dengan setia menantiku di sana. Yang tak pernah tahu rasaku untuk dirinya. Dia yang membuatku selalu merasa berdosa. Tapi bukankah cinta itu tak berdosa? Ataukah memang aku yang membuatnya ternoda?

Dirinya menghampiriku dalam jejaring maya. Menyapaku dengan senyum virtualnya. Membelaiku dengan manjanya. Ah betapa aku terbuai karenanya. Aku chatting dengan dirinya selama berjam-jam. Perjumpaanku semakin menggelora dengan webcam yang terpasang. Tawa renyah mengiringi canda. Kata-katanya bak narkoba. Membiusku hingga mengawang-ngawang. Membuatku melupakan dia.

Setiap kubuka jejaring maya selalu kucari dirinya. Prioritasku adalah dirinya. Aku dan dirinya sama-sama mengawang. Segala resiko dan ketakutan akan masa depan pun tak kami hiraukan. Semakin aku mengenal dirinya semakin aku mendapatkan banyak hal yang tak ada dalam diri dia. Semakin aku menyelami hati dirinya semakin aku menemui relung-relung yang hilang pada diri dia.

Dirinya menawarkan petualangan. Membawaku pada tujuan yang tak jelas. Menuntunku ke dalam pekat. Ah, betapa aku suka berjalan dalam gelap. Betapa adrenalinku terpacu dalam ketidaktahuan arah. Dirinya adalah hujan dan aku sang awan kelam. Aku adalah sang malam dan dia adalah pekat. Dirinya adalah ketidakmungkinan dan aku adalah pemujanya.

Pertemuanku dengan dirinya selalu menjelang malam. Saat udara mulai pekat. Saat matahari mulai terlelap. Saat burung-burung mulai berpulang ke sarangnya. Tak banyak yang ditawarkannya. Hanya ketidakpastian. Tapi aku tergila-gila pada ketidakpastian. Aku begitu terobsesi pada ketidaktahuan.

Sementara di ujung sana, dalam nyata ada dia. Dia yang setia menungguku tanpa pernah mengeluarkan keluhan. Dia dengan cintanya yang tanpa syarat. Dia dengan kasihnya yang penuh ketulusan. Dia dengan kesungguhannya yang penuh dengan pengorbanan. Dia, yang tak pernah tahu aku telah berpaling pada dirinya.

Kami selalu berjumpa di kala senja menyapa. Di kala pagi menjelang. Di kala terik merambat. Di kala panas memuncak. Dia selalu ada di sana. Dia selalu ada dalam pekatnya malam. Dia tak pernah menghilang dalam terangnya siang. Dia tak pernah lupa padaku yang kerap melupakannya. Dia tak pernah bosan padaku yang kerap merasa jenuh padanya. Dia tak pernah mengeluh padaku yang tak pernah berhenti berkeluh kesah. Dia yang selalu menutup pintu hatinya pada perempuan lain yang menawarkan cinta. Dia yang seringkali harus berpura-pura pada ketidakjujuran yang kuobral.

Aku tahu waktu, kesempatan, dan pengorbanan takkan pernah terbayar. Aku sadar cinta adalah sebuah proses panjang. Itulah dia. Tapi kesenangan yang ditawarkan petualangan terlalu menggoda. Ketidaktahuan menggelitik kesetiaan. Itulah dirinya. Aku menyayangi dia. Aku tergila-gila pada dirinya.

Tapi hidup selalu menawarkan pilihan. Hidup tak pernah memberikan kesempatan bagiku untuk mengambil semua pilihan yang ada. Aku harus memutuskan. Meninggalkan dia untuk dirinya. Atau melupakan dirinya dan kembali pada dia.

Kenapa aku harus memutuskan? Tak bisakah aku mendapatkan keduanya? Tak bisakah aku bersenang-senang dan menyelami dirinya? Tak bisakah aku kembali pada dia setelah lelah bersenang-senang dengan dirinya? Tak bisakah aku mendapatkan dirinya untuk sebuah petualangan? Tak bisakah aku mempertahankan dia untuk tempat melepas lelah selepas petualangan? Tak bisakah aku mendapatkan dia dan dirinya? Tak bisakah kujadikan dirinya sebagai penghuni nafsu syahwat? Dan tak bisakah kujadikan dia sebagai penghuni akal sehat? Di sisi kiri relung hatiku ada dirinya. Di sisi kanan relung hatiku ada dia. Tak bisakah demikian adanya?

Tak bisa! Tak bisa! Aku tetap harus memutuskan.

Dirinya, dia. Aku dengan dirinya. Aku dengan dia. Aku bersama dirinya. Aku bersama dia. Dirinya sang fatamorgana. Sang malam kelam. Dia sang mahacinta. Sang siang terang.

Telah kesusun kepingan-kepingan maya ke dalam fana. Tidak untuk kuhilangkan fatamorgananya. Tapi untuk kunikmati petualangnnya.

Dunia maya adalah fatamorgana. Keindahan yang ditawarkannya adalah fana. Cinta dalam fatamorgana begitu mudah sirna. Karena nafsu adalah bahan bakarnya. Ketidakpastian adalah satu-satunya yang ditawarkan dalam dunia maya. Fatamorgana adalah Dirinya.

Telah kukumpulkan lagi debu-debu dalam kenangan. Tidak untuk kubersihkan. Tapi untuk kujadikan segumpal tanah. Bukankah tanah adalah awal dari diri manusia. Tanah pulalah awal dari kehidupan dan cinta.

Telah kutemukan semua yang tak pernah ada. Kukumpulkan semua yang pernah hilang. Kutenun asa yang telah terurai bebas. Kujahit lembar demi lembar rasa yang sempat pudar. Kugali semua kebaikan dan pengorbanan. Kemudian aku tersadar. Dalam setiap lekuk hidup yang telah kujalankan. Dalam setiap air mata yang kutangiskan. Dalam setiap tawa yang kuderaikan. Dalam setiap amarah yang kuluapkan. Dalam setiap perlakuan manja yang kuarahkan. Dalam setiap ego yang kukedepankan. Dalam setiap hasrat yang kukesampingkan. Dalam setiap harap yang kumohonkan. Selalu ada Dia.


Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2010/11/17/antara-aku-dirinya-dan-dia/

Posting Komentar

Chat-box