Sosok laki-laki itu berdiri gagah. Kulitnya hitam legam terbakar matahari. Bahu yang kekar dan otot-otot bisep yang menonjol di lengannya membentuk postur bagai patung dewa-dewa Yunani. Sorot matanya tajam, setajam elang di payungi sepasang alis hitam. Rambut lurus yang jatuh di keningnya, sesekali bergerak di tiup angin.
Dari perbukitan ia memandang hamparan tanaman cengkeh yang mulai berbunga. Di kelilingi pohon kelapa yang membentuk pagar, membuat kebun cengkeh nampak bagai sebuah mahakarya lukisan. Biru langit yang membingkai secara keseluruhan, membuat perpaduan biru putih dan hijau yang sangat indah. Jalan setapak nampak bagai tubuh ular yang meliuk-liuk.
Harumnya cengkeh tercium hingga jauh diujung jalan. Sesaat lagi masa panen akan tiba. Ada rasa bangga membuncah di dadanya. Sesekali laki-laki itu mengangkat tangan membalas sapaan sesama petani cengkeh. Kerja keras dan tetes keringatnya kini membuahkan hasil. Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia. Orang tuanya benar, bila bukan dirinya yang memulai lalu siapa? Waktu sudah mengikis habis semua rasa egoisnya. Waktu pula yang menempanya menjadi sekeras baja. Setiap pohon cengkeh menjadi saksi bisu dari perjuangannya melawan diri sendiri.
Masih kuat dalam ingatannya, pertengkaran dengan sang ayah. Percakapan malam itu, yang membuatnya kini bisa menatap hamparan kebon cengkeh yang di garapnya. Penyesalan memang tiada guna, namun ia tak menyesali pilihannya. Ia sangat sadar setiap orang dalam kehidupan mempunyai kesempatan memilih. Dan ia sudah memilih, maka di sinilah ia berada.
Sesekali ia memutar kembali rekaman memori pertengkaran dengan ayahnya. Karena pertengkaran malam itulah yang menjadi titik awal kehidupannya yang sekarang.
“ Saya sudah bosan dengan semua ini” Ujarnya dengan helaan nafas berat
“ Teruslah bermulut besar, sudah pandai rupanya. Kamu tidak lihat, kamu punya mama berusaha tanam cengkeh , kumpul uang buat kamu punya sekolah. Ini kamu punya balasan? Tanya ayahnya
“Pa, mengertilah sedikit. Kalau saya tinggal terus di sini mau mencari kerja susah. Mau berharap apa?”
“ Kasihan sekali kamu. Sekolah tinggi tapi tetap bodoh. Menyesal sekali kita kasih sekolah sama kamu kalau kamu punya otak cuma sepotong!” Seru ayahnya dengan nada marah.
“Bukan begitu Pa, Justru karena kita sudah sekolah tinggi, kita mau cari kerja biar bisa bikin senang mama dengan papa” Balasku dengan sama emosinya.
“ Nyong (panggilan untuk anak laki-laki). Kamu harus tahu. Kalau kamu punya papa dengan mama kasih sekolah tinggi buka Cuma sekedar untuk kumpul uang. Kita orang mau kamu kasih hidup ini tanah. Tanah tempat kamu punya leluhur hidup dan bekerja. Tanah warisan yang harus kamu lestarikan. Karena ini tanah sudah banyak menghasilkan. Salah satunya kamu punya ijazah! Ujar ayahnya panjang lebar.
“Pa, kita mengerti. Tapi kondisi sudah maju begini, masa kita harus kerja di kebun!:” Protesku
“Kenapa? Kamu malu?”
“ Bukan malu tapi…
“Sudahlah! Eh nyong, dengar baik-baik. Kalau kamu pergi, jangan kamu berpikir kita orang berharap kamu punya uang. Kalau kamu pergi kamu sudah bawa jiwa kamu punya mama. Buat kamu punya mama, hidup sudah tidak ada guna kalau kamu pergi lagi. 5 tahun tidak sebentar untuk hibur kamu punya mama. Kita orang banting tulang menghibur diri berharap suatu hari nanti kamu pulang. Lihat sekarang, baru dua minggu kamu punya mama rasa senang karena kamu sudah kembali. Tapi sekarang kamu mau pergi lagi. Kenapa kamu tidak sekalian tikamlah kamu punya mama dengan bambu. Kasih mati saja. Biar selesai penderitaannya di dunia. Tuhan Allah Bapak Di Sorga, biar kasih ampun kita punya ucapan!”
Lamunannya terputus, ketika di rasakan tangan seseorang di lengannya. Tangan seorang remaja laki-laki.
“Papa ada melamun?” Tanya si bocah
“Tidak,. Papa ada lihat kita orang punya kebon!”
“Panen sudah mau tiba kan?
“Iya!”
“Jadi kita beli mobil?
“Kalau uangnya sudah terkumpul”
“Pasti terkumpul, kita orang punya cengkeh paling bagus kwalitasnya kan?
“Kamu sudah pandai rupanya?
“Om Arnold ada bilang, kalau ada mobil sendiri kita bisa bawa langsung ke pembel?
“Betul tapi kita harus bersatu dengan petani cengkeh yang lain supaya bisa jaga itu harga”
“Tapi kalau mereka orang tidak mau?”
“Kita harus kasih pengertian, keringat kita orang ada nilainya”
“Tapi pabrik rokok di Jawa punya kuasa kan!”
“Jangan lupa, kita orang yang punya cengkeh. Jadi kita orang yang akan mengatur!”
Saat mentari mulai turun, di ujung barat semburat kemerahan memperindah permandangan. Senja turun mengantar malam yang kan menjelang. Bulan bundar mulai mengintip separuh badan. Lama-kelamaan sosoknya yang putih pucat semakin nyata di antara pohon-pohon kelapa. Malam indah dengan taburan bintang, seakan turut menjaga bunga-bunga cengkeh.
Berabad-abad lampau, karena hasil tanah ini maka orang asing mau datang dan bertransaksi. Bahkan hingga Indonesia merdeka, Cengkeh tetap permata buat masyarakat Minahasa. Sayang kebodohan dan keserakahan telah merampas kesejahteraan hidup masyarakat Minahasa.
Di ruang tamu berukuran 3 x 5 meter, berisi seperangkat kursi dan satu meja kerja kecil di sudut ruang. Seperangkat peralatan komputer tertata apik di atasnya. Yah teknologi telah membantu meluruskan jalan perdagangan , memangkas habis semua bentuk percaloan. Laki-laki gagah itu, kerap menggunakan komputer usai berkebon. Dengan bantuan teknologi, kini ia tak lagi menatap miris, ijazah perguruan tinggi yang terbingkai rapi di dinding.
Ayahnya benar, ijazah itu hanya selembar kertas tak bermakna, usaha dan kerja kerasnya yang memberi makna pada
selembar ijazah. Namanya yang terukir indah di ijazah itu kini sebanding lurus dengan tetesan keringat yang membasahi kebon cengkehnya. Namanya akan berurat dan berakar bukan hanya di kebon cengkehnya. Tapi juga menjadi motivasi bagi pemuda-pemuda di kampungnya, untuk kembali menggarap tanah. Gelar-gelar sarjana kini menjadi sekedar gelar karena di tiap-tiap kebon yang di garap gelar sarjana tak ada arti, yang memberi arti adalah gerakan tangan saat membelai mesra batang cengkeh. Saat membabat habis semua benalu dan kebahagiaan bukanlah saat menerima gaji tapi kegembiraan menjadi nyata saat putik cengkeh berbunga. Memberi makna tak ada keringat yang sia-sia.
Janji leluhur sudah ditepati, tak ada tanah yang tak menghasilkan. Tinggal bagaimana kedua tangan dan kaki menari, diiringi musik alam, mencangkul dan memotong agar bisa membuat yang terbaik. Karena bumi selalu berterima kasih, sebanyak tangan dan kaki mengolah sebanyak itu pula kelak hasil yang akan di panen. (15 Juni 2007)
Sumber : http://www.sekolahkehidupan.com/new/index.php?option=com_content&task=view&id=725&Itemid=30
Dari perbukitan ia memandang hamparan tanaman cengkeh yang mulai berbunga. Di kelilingi pohon kelapa yang membentuk pagar, membuat kebun cengkeh nampak bagai sebuah mahakarya lukisan. Biru langit yang membingkai secara keseluruhan, membuat perpaduan biru putih dan hijau yang sangat indah. Jalan setapak nampak bagai tubuh ular yang meliuk-liuk.
Harumnya cengkeh tercium hingga jauh diujung jalan. Sesaat lagi masa panen akan tiba. Ada rasa bangga membuncah di dadanya. Sesekali laki-laki itu mengangkat tangan membalas sapaan sesama petani cengkeh. Kerja keras dan tetes keringatnya kini membuahkan hasil. Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia. Orang tuanya benar, bila bukan dirinya yang memulai lalu siapa? Waktu sudah mengikis habis semua rasa egoisnya. Waktu pula yang menempanya menjadi sekeras baja. Setiap pohon cengkeh menjadi saksi bisu dari perjuangannya melawan diri sendiri.
Masih kuat dalam ingatannya, pertengkaran dengan sang ayah. Percakapan malam itu, yang membuatnya kini bisa menatap hamparan kebon cengkeh yang di garapnya. Penyesalan memang tiada guna, namun ia tak menyesali pilihannya. Ia sangat sadar setiap orang dalam kehidupan mempunyai kesempatan memilih. Dan ia sudah memilih, maka di sinilah ia berada.
Sesekali ia memutar kembali rekaman memori pertengkaran dengan ayahnya. Karena pertengkaran malam itulah yang menjadi titik awal kehidupannya yang sekarang.
“ Saya sudah bosan dengan semua ini” Ujarnya dengan helaan nafas berat
“ Teruslah bermulut besar, sudah pandai rupanya. Kamu tidak lihat, kamu punya mama berusaha tanam cengkeh , kumpul uang buat kamu punya sekolah. Ini kamu punya balasan? Tanya ayahnya
“Pa, mengertilah sedikit. Kalau saya tinggal terus di sini mau mencari kerja susah. Mau berharap apa?”
“ Kasihan sekali kamu. Sekolah tinggi tapi tetap bodoh. Menyesal sekali kita kasih sekolah sama kamu kalau kamu punya otak cuma sepotong!” Seru ayahnya dengan nada marah.
“Bukan begitu Pa, Justru karena kita sudah sekolah tinggi, kita mau cari kerja biar bisa bikin senang mama dengan papa” Balasku dengan sama emosinya.
“ Nyong (panggilan untuk anak laki-laki). Kamu harus tahu. Kalau kamu punya papa dengan mama kasih sekolah tinggi buka Cuma sekedar untuk kumpul uang. Kita orang mau kamu kasih hidup ini tanah. Tanah tempat kamu punya leluhur hidup dan bekerja. Tanah warisan yang harus kamu lestarikan. Karena ini tanah sudah banyak menghasilkan. Salah satunya kamu punya ijazah! Ujar ayahnya panjang lebar.
“Pa, kita mengerti. Tapi kondisi sudah maju begini, masa kita harus kerja di kebun!:” Protesku
“Kenapa? Kamu malu?”
“ Bukan malu tapi…
“Sudahlah! Eh nyong, dengar baik-baik. Kalau kamu pergi, jangan kamu berpikir kita orang berharap kamu punya uang. Kalau kamu pergi kamu sudah bawa jiwa kamu punya mama. Buat kamu punya mama, hidup sudah tidak ada guna kalau kamu pergi lagi. 5 tahun tidak sebentar untuk hibur kamu punya mama. Kita orang banting tulang menghibur diri berharap suatu hari nanti kamu pulang. Lihat sekarang, baru dua minggu kamu punya mama rasa senang karena kamu sudah kembali. Tapi sekarang kamu mau pergi lagi. Kenapa kamu tidak sekalian tikamlah kamu punya mama dengan bambu. Kasih mati saja. Biar selesai penderitaannya di dunia. Tuhan Allah Bapak Di Sorga, biar kasih ampun kita punya ucapan!”
Lamunannya terputus, ketika di rasakan tangan seseorang di lengannya. Tangan seorang remaja laki-laki.
“Papa ada melamun?” Tanya si bocah
“Tidak,. Papa ada lihat kita orang punya kebon!”
“Panen sudah mau tiba kan?
“Iya!”
“Jadi kita beli mobil?
“Kalau uangnya sudah terkumpul”
“Pasti terkumpul, kita orang punya cengkeh paling bagus kwalitasnya kan?
“Kamu sudah pandai rupanya?
“Om Arnold ada bilang, kalau ada mobil sendiri kita bisa bawa langsung ke pembel?
“Betul tapi kita harus bersatu dengan petani cengkeh yang lain supaya bisa jaga itu harga”
“Tapi kalau mereka orang tidak mau?”
“Kita harus kasih pengertian, keringat kita orang ada nilainya”
“Tapi pabrik rokok di Jawa punya kuasa kan!”
“Jangan lupa, kita orang yang punya cengkeh. Jadi kita orang yang akan mengatur!”
Saat mentari mulai turun, di ujung barat semburat kemerahan memperindah permandangan. Senja turun mengantar malam yang kan menjelang. Bulan bundar mulai mengintip separuh badan. Lama-kelamaan sosoknya yang putih pucat semakin nyata di antara pohon-pohon kelapa. Malam indah dengan taburan bintang, seakan turut menjaga bunga-bunga cengkeh.
Berabad-abad lampau, karena hasil tanah ini maka orang asing mau datang dan bertransaksi. Bahkan hingga Indonesia merdeka, Cengkeh tetap permata buat masyarakat Minahasa. Sayang kebodohan dan keserakahan telah merampas kesejahteraan hidup masyarakat Minahasa.
Di ruang tamu berukuran 3 x 5 meter, berisi seperangkat kursi dan satu meja kerja kecil di sudut ruang. Seperangkat peralatan komputer tertata apik di atasnya. Yah teknologi telah membantu meluruskan jalan perdagangan , memangkas habis semua bentuk percaloan. Laki-laki gagah itu, kerap menggunakan komputer usai berkebon. Dengan bantuan teknologi, kini ia tak lagi menatap miris, ijazah perguruan tinggi yang terbingkai rapi di dinding.
Ayahnya benar, ijazah itu hanya selembar kertas tak bermakna, usaha dan kerja kerasnya yang memberi makna pada
selembar ijazah. Namanya yang terukir indah di ijazah itu kini sebanding lurus dengan tetesan keringat yang membasahi kebon cengkehnya. Namanya akan berurat dan berakar bukan hanya di kebon cengkehnya. Tapi juga menjadi motivasi bagi pemuda-pemuda di kampungnya, untuk kembali menggarap tanah. Gelar-gelar sarjana kini menjadi sekedar gelar karena di tiap-tiap kebon yang di garap gelar sarjana tak ada arti, yang memberi arti adalah gerakan tangan saat membelai mesra batang cengkeh. Saat membabat habis semua benalu dan kebahagiaan bukanlah saat menerima gaji tapi kegembiraan menjadi nyata saat putik cengkeh berbunga. Memberi makna tak ada keringat yang sia-sia.
Janji leluhur sudah ditepati, tak ada tanah yang tak menghasilkan. Tinggal bagaimana kedua tangan dan kaki menari, diiringi musik alam, mencangkul dan memotong agar bisa membuat yang terbaik. Karena bumi selalu berterima kasih, sebanyak tangan dan kaki mengolah sebanyak itu pula kelak hasil yang akan di panen. (15 Juni 2007)
Sumber : http://www.sekolahkehidupan.com/new/index.php?option=com_content&task=view&id=725&Itemid=30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar